Dec 3, 2025

Involusi atau Revolusi? Menguak Wajah Asli Pertanian Indonesia di Abad Teknologi

Oleh : Atep Afia Hidayat

(Dikembangkan dari artikel : https://www.kangatepafia.com/2013/04/wajah-asli-pertanian-indonesia.html )

Meta Description: Mayoritas petani Indonesia masih terjebak dalam pertanian tradisional, minim nilai tambah, dan terancam kemiskinan. Artikel ini menganalisis mengapa petani gurem sulit bertransformasi ke pertanian modern, didukung studi kasus internasional dan data terbaru BPS.

Keywords: Pertanian Tradisional, Petani Gurem, Involusi Pertanian, Modernisasi Pertanian, Nilai Tambah Pertanian, Kemiskinan Petani, Pertanian Indonesia.

 

🌾 Pendahuluan: Mayoritas yang Terpinggirkan di Era Canggih

Pertanian merupakan sektor yang masih ditekuni oleh mayoritas penduduk Indonesia. Mereka adalah penentu ketersediaan pangan di meja makan kita. Ironisnya, di tengah kemajuan pesat Abad Bioteknologi, Nuklir, dan Teknologi Informasi, sebagian besar petani kita masih menjalankan praktik yang disebut "pertanian tempo doeloe."

Model usaha tani yang dominan ini dicirikan oleh pemborosan sumber daya—lahan, energi, dan Sumber Daya Manusia (SDM)—hanya menghasilkan tingkat produksi yang rendah, kualitas panen yang kurang optimal, dan nilai tambah yang sangat minim.

Akibatnya, "sang pengusaha" pertanian kelas gurem (petani pemilik lahan sangat sempit) dan keluarganya seringkali terjebak dalam lingkaran kemiskinan dari generasi ke generasi. Tak heran, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin per September 2024 masih cukup tinggi, dengan sebagian besar berada di wilayah perdesaan (yang didominasi sektor pertanian), menegaskan bahwa kemiskinan masih sangat identik dengan masyarakat pertanian [1]. Mengapa mereka kesulitan keluar dari jebakan ini?

 

📉 Pembahasan Utama: Jebakan Skala, Risiko, dan Involusi

1. Boros Sumber Daya, Minim Orientasi Bisnis

Berbeda dengan petani di negara maju seperti Amerika Serikat atau Belanda yang menerapkan prinsip industri, bisnis, dan manajemen [2], mayoritas petani di Indonesia masih berorientasi pada subsisten (bertahan hidup).

Petani Indonesia, dari generasi ke generasi, cenderung terus-menerus menanam padi. Filosofi yang dianut sederhana: menanam padi memberikan rasa "tenang," karena kalaupun harga anjlok, setidaknya mereka tetap bisa makan. Komoditas lain dianggap riskan karena "belum dijiwai" atau memerlukan modal dan keahlian yang berbeda.

Inilah analoginya: Jika petani di negara maju adalah CEO perusahaan pangan, petani kita adalah pekerja harian yang hanya berpegangan pada kebiasaan warisan.

2. Hambatan Struktural dan Skala Ekonomi

Lantas, mungkinkah seorang Mang Udin, petani dengan pemilikan sawah sepertiga hektar di Karawang, mampu menjadi petani canggih seperti Mr. Carnegie di Missouri yang mengusahakan puluhan hektar gandum dengan mekanisasi penuh? Jawabannya sulit, karena:

  • Skala Lahan: Mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem. Data BPS menunjukkan rata-rata penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian per rumah tangga usaha pertanian (RTUP) di Indonesia terus menyempit, kini di bawah 1 hektar. Skala sempit ini menghambat mekanisasi penuh dan menghambat penerapan precision agriculture yang efisien [3].
  • Modal dan Infrastruktur: Pertanian modern menuntut modal investasi tinggi untuk alat mekanisasi, sarana produksi unggul, dan infrastruktur irigasi memadai. Petani gurem kesulitan mengakses modal ini.
  • Kesenjangan Teknologi dan Manajemen: Meskipun ada introduksi teknologi, nilai tambah yang diperoleh petani kecil belum cukup merangsang. Studi kasus di Asia Tenggara menunjukkan bahwa tanpa reformasi kelembagaan, adopsi teknologi oleh petani gurem seringkali tidak berkelanjutan [4].

3. Ancaman Involusi Pertanian

Kondisi ini diperparah oleh fenomena Involusi Pertanian (Clifford Geertz). Involusi adalah proses pemadatan tenaga kerja dan intensifikasi kerja di lahan yang sama dan semakin sempit, tanpa ada peningkatan pendapatan atau kesejahteraan yang proporsional.

Petani menjual atau membagi waris lahannya, membuat luas kepemilikan makin sempit. Petani dipaksa bekerja lebih keras dengan hasil yang begitu-begitu saja. Ini adalah siklus yang memiskinkan, menunjukkan bahwa meskipun sektor ini "masih dibutuhkan," ia cenderung dipinggirkan dari arus modernisasi dan investasi.

 

📢 Implikasi & Solusi: Memutus Rantai Kemiskinan Struktural

Implikasi Sosial-Ekonomi

Jika wajah asli pertanian Indonesia tetap seperti ini, pembangunan pertanian akan terus "jalan di tempat." Kita akan menghadapi ancaman serius berupa:

  • Degradasi SDM Pertanian: Generasi muda akan enggan melanjutkan usaha tani karena tidak menjanjikan kemakmuran, menyebabkan penuaan petani.
  • Ketergantungan Impor Pangan: Produksi yang tidak efisien dan stagnan akan membuat negara rentan terhadap gejolak harga pangan global, yang pada akhirnya memicu inflasi dan ketidakstabilan sosial.

Solusi Berbasis Kelembagaan dan Skala

Transformasi pertanian harus bersifat revolusioner, bukan sekadar kosmetik. Solusi harus difokuskan pada penguatan petani gurem:

  1. Konsolidasi Lahan dan Reforma Agraria: Pemerintah perlu memperkuat program konsolidasi lahan untuk menciptakan skala usaha yang ideal (minimal 2 hektar per kelompok) agar mekanisasi dan manajemen bisnis dapat diterapkan [5].
  2. Koperasi Berbasis Bisnis: Dorong petani gurem untuk bersatu dalam Koperasi/Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang dikelola secara profesional layaknya perusahaan. Koperasi ini akan berfungsi sebagai agregator yang memecahkan masalah modal, pembelian sarana produksi, dan pemasaran.
  3. Insentif dan Jaminan Risiko: Pemerintah perlu memberikan insentif pajak, subsidi, dan jaminan harga jual (floor price) yang menguntungkan, terutama bagi komoditas bernilai tinggi. Ini akan mengurangi risiko dan mendorong petani untuk berani beralih dari pola subsisten ke pola bisnis.
  4. Inovasi yang Adaptif: Kembangkan teknologi pertanian yang terjangkau dan spesifik untuk lahan sempit (misalnya, smart farming skala kecil) yang mudah diadopsi oleh petani, bukan hanya meniru model large-scale Barat.

 

🎯 Kesimpulan: Memilih Jalan Menuju Makmur

Wajah asli pertanian Indonesia adalah wajah yang lelah oleh tradisi, lahan sempit, dan minimnya nilai tambah. Mayoritas petani masih miskin karena terjebak dalam model boros dan subsisten, sementara pembangunan pertanian terkesan jalan di tempat.

Kita tidak bisa membiarkan sektor penopang kehidupan ini terus dipinggirkan. Diperlukan keseriusan politik dan reformasi struktural untuk memutus rantai Involusi. Dengan mengubah petani gurem menjadi "Manajer Pangan" melalui konsolidasi lahan dan penguatan kelembagaan bisnis, kita dapat mencapai pertanian yang efisien, berdaya saing, dan, yang terpenting, mensejahterakan.

Kini, pilihan ada di tangan kita: membiarkan wajah pertanian kita tetap buram dan terpinggirkan, atau bergerak menuju revolusi yang menjamin kemakmuran bagi para pahlawan pangan nasional?

 

📚 Sumber & Referensi Ilmiah

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Persentase Penduduk Miskin September 2024. (Dikutip dari rilis pers BPS terbaru).
  2. Timmer, C. P. (2014). The Role of the Agricultural Sector in Economic Development: The Asian Experience. Asian Development Review, 31(1), 1-32.
  3. Otsuka, K. (2017). Agricultural development in Asia: the importance of farm size and technological innovation. Journal of the Asia Pacific Economy, 22(1), 1-20.
  4. White, B. (2019). Land Tenure and Rural Development in Southeast Asia: What's New, What's Next? The Journal of Peasant Studies, 46(1), 1-28.
  5. Pingali, P. L. (2012). Green Revolution: Impacts, Limits, and the Path Ahead. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(31), 12302-12308.

 

#10Hashtag

#PertanianIndonesia #PetaniGurem #InvolusiPertanian #ModernisasiPertanian #ReformaAgraria #NilaiTambahPertanian #PembangunanPedesaan #KedaulatanPangan #EkonomiPetani #PertanianBerkelanjutan

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.