Oleh : Atep Afia Hidayat
(Dikembangkan dari artikel : https://www.kangatepafia.com/2013/04/bersama-merobohkan-rumah-kita.html#more
)
Keywords: Kerusakan Lingkungan, Krisis Iklim, Sampah Plastik, Deforestasi, Ekologi Tanah, Pembangunan Berkelanjutan
Pendahuluan: Rumah Renta yang Masih Setia
Bayangkan Bumi sebagai sebuah rumah tua yang telah menampung
kita selama miliaran tahun. Di sinilah kita bernapas, makan, berkembang biak,
bekerja, dan menjalani seluruh peradaban manusia. Rumah ini—Planet Bumi—telah
setia menyediakan air, udara, makanan, dan tempat berpijak, memungkinkan
populasi manusia berlipat ganda dari sepasang menjadi hampir 8 miliar jiwa.
Namun, kesetiaan rumah ini dibalas dengan tindakan yang merusak.
Setiap detik, di seluruh penjuru Bumi, ada saja perilaku
yang berkontribusi pada kerobohan struktural rumah kita, dari yang kasat mata
hingga yang tersembunyi. Pertanyaannya, apakah kita menyadari bahwa
kerusakan-kerusakan kecil yang terakumulasi telah menjadi ancaman dahsyat bagi
kelangsungan hidup kita sendiri? Inilah urgensi terbesar zaman kita:
menghentikan penghancuran ekosistem sebelum terlambat.
Pembahasan Utama: Anatomi Kerusakan Global
Kerobohan "rumah" kita terjadi melalui berbagai
jalur, didorong oleh satu motivasi utama: kepentingan ekonomi jangka pendek
yang mengabaikan ekologi jangka panjang.
1. Plastik dan Tanah yang Sesak
Kerusakan seringkali berawal dari hal yang sangat kecil,
seperti sebungkus permen. Meskipun hanya 2 cm2 plastik, jutaan
bungkus permen dan kemasan lain yang dibuang setiap hari menumpuk secara
eksponensial. Sampah plastik, yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai,
tidak hanya mencemari lautan tetapi juga menutupi pori-pori tanah.
Tanah adalah ekosistem dinamis yang penuh dengan cacing,
mikroba, air, dan unsur hara, penting untuk pertanian dan keseimbangan
ekosistem global (Torsvik & Øvreås, 2002). Ketika tanah tertutup plastik
atau beton, siklus air terganggu. Air hujan tidak dapat meresap, meningkatkan
limpasan permukaan yang berujung pada banjir, sekaligus mengurangi pengisian
ulang air tanah.
Penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik—pecahan plastik
kecil—telah menyebar ke seluruh lapisan tanah dan mengganggu kesehatan mikroba,
yang merupakan fondasi kesuburan tanah (Rillig et al., 2017).
2. Paru-Paru Bumi yang Digunduli
Bumi kita memiliki "paru-paru" berupa hutan
tropis. Hutan-hutan ini adalah penyerap karbon dioksida (CO2) terbesar dan
menjaga stabilitas iklim. Namun, atas nama industrialisasi dan investasi, hutan
tropis diratakan untuk perkebunan monokultur (seperti sawit) atau
dialihfungsikan menjadi area pertambangan.
Deforestasi tidak hanya melepaskan CO2 yang tersimpan di
pohon ke atmosfer—mempercepat krisis iklim—tetapi juga menghancurkan
keanekaragaman hayati. Sebuah studi oleh IPCC (2019) menegaskan bahwa
perubahan tata guna lahan, terutama deforestasi, adalah kontributor utama
perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
3. Eksploitasi Membabi Buta
Kerusakan yang paling parah datang dari eksplorasi perut
bumi: pertambangan emas, batu bara, timah, dan lainnya. Operasi pertambangan
sering meninggalkan lubang raksasa yang dibiarkan terbuka. Praktik ini merusak
struktur geologis dan hidrologis lokal, mencemari air dan tanah dengan bahan
kimia beracun, serta secara dramatis mengubah lanskap.
Kerusakan ini bersifat sistematis dan sayangnya,
seringkali legal. Motivasi ekonomi yang mendasari eksploitasi ini tidak
pernah menghasilkan keuntungan yang sebanding untuk memulihkan kondisi ekologi
yang telah rusak (Costanza et al., 2014).
Analogi: Kita ibarat sedang mencabut pondasi rumah
kita sendiri untuk dijual kembali kayunya, padahal kayu hasil penjualan itu
tidak cukup untuk membeli pondasi baru, sementara rumah sudah mulai retak dan
miring.
Implikasi dan Solusi: Membangun Kembali dengan Ilmu
Kerusakan yang bersifat kronis ini membuat upaya pemulihan
menjadi sangat sulit dan mahal. Dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan,
tetapi juga memicu bencana alam yang berasal dari Bumi itu sendiri, seperti
gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi, yang semakin diperparah oleh
kerentanan lingkungan akibat campur tangan manusia.
Solusi Berbasis Penelitian:
- Ekonomi
Sirkular dan Pengelolaan Sampah: Solusi tidak hanya pada mengurangi,
tetapi juga merancang ulang sistem produksi. Konsep ekonomi sirkular
(Circular Economy) yang meminimalkan limbah dan mengoptimalkan penggunaan
sumber daya adalah kunci (Geissdoerfer et al., 22017). Negara-negara perlu
berinvestasi pada teknologi daur ulang dan alternatif material
non-plastik.
- Restorasi
Ekologis dan Pertanian Berkelanjutan: Fokus harus beralih dari
eksploitasi hutan ke restorasi ekologis. Penelitian agroforestri
(menggabungkan pohon dan pertanian) menunjukkan potensi ganda:
meningkatkan hasil panen dan menyerap CO2 (Sutton et al., 2020).
Perlindungan hutan lindung harus diperkuat dengan penegakan hukum yang
tegas.
- Akuntansi
Nilai Ekologis: Nilai jasa lingkungan (seperti air bersih, udara
segar, penyerapan karbon) harus dimasukkan ke dalam perhitungan ekonomi
nasional (Gross Ecosystem Product). Ketika nilai lingkungan diakui
secara finansial, dorongan untuk merusaknya demi keuntungan jangka pendek
akan berkurang (Costanza et al., 2014).
Kesimpulan: Di Mana Kita Akan Tinggal?
Kita telah melihat bahwa kerobohan "rumah kita"
adalah hasil dari akumulasi tindakan merusak, baik yang kecil maupun yang
masif, yang didorong oleh kepentingan ekonomi. Kerusakan ini kini telah
mencapai titik kritis, memicu krisis iklim dan lingkungan yang mengancam
eksistensi manusia.
Jalan keluarnya bukanlah lari atau mengungsi, melainkan
kembali kepada kesadaran bahwa kita adalah bagian tak terpisahkan dari rumah
ini. Setiap keputusan, mulai dari cara kita membuang sampah hingga kebijakan
tata ruang, memiliki konsekuensi ekologis.
Jika rumah kita benar-benar roboh, di mana kita akan
tinggal? Pertanyaan reflektif ini harus mendorong kita untuk bertindak segera.
Mari kita mulai proses restorasi dan pembangunan berkelanjutan hari ini, demi
kelangsungan hidup generasi mendatang.
📚 Sumber & Referensi
Ilmiah
- Costanza,
R., et al. (2014). Changes in the global value of ecosystem services. Global
Environmental Change, 26, 152–158.
- Geissdoerfer,
M., Savaget, S., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The
Circular Economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner
Production, 143, 757–768.
- IPCC.
(2019). Climate Change and Land: an IPCC special report on climate
change, desertification, land degradation, sustainable land management,
food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems.
- Rillig,
M. C., Ingraffia, R., & de Souza Machado, A. A. (2017).
Microplastic incorporation into soil in agroecosystems. Science
Advances, 3(7).
- Sutton,
C., et al. (2020). Environmental benefits of agroforestry adoption: A
systematic review. Global Change Biology, 26(11), 6023-6042.
- Torsvik,
V., & Øvreås, L. (2002). Microbial diversity and function in soil:
from genes to ecosystems. Current Opinion in Microbiology, 5(3),
240–245.
🏷️ 10 Hashtag
#BumiSehat #KrisisIklim #KerusakanLingkungan
#EkonomiSirkular #Deforestasi #JagaBumi #SampahPlastik
#PembangunanBerkelanjutan #RestorasiEkologis #EkologiTanah

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.