Oleh : Atep Afia Hidayat
(Dikembangkan dari artikel : https://www.kangatepafia.com/2013/05/indonesia-boros-hutan.html
)
Meta Description: Indonesia, pemilik hutan tropis terluas kedua di dunia, tengah menghadapi krisis deforestasi yang kronis.
Artikel ini membedah data ilmiah, penyebab utama (konglomerasi dan kemiskinan), serta implikasi bencana ekologis lokal hingga ancaman pemanasan global.Keywords: Deforestasi Indonesia, Hutan Primer, Krisis
Iklim, Jasa Ekosistem Hutan, Banjir , Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Pendahuluan: Harta Karun Hijau yang Terkuras
Indonesia adalah negara yang diberkahi. Dengan luas hutan
tropisnya yang menempati peringkat kedua terbesar di dunia setelah Brasil, kita
memegang kunci penting bagi stabilitas iklim global dan menjadi rumah bagi
keanekaragaman hayati yang tak tertandingi. Para ilmuwan sering menjuluki hutan
Indonesia sebagai "paru-paru Planet Bumi."
Namun, warisan yang tak ternilai ini terus terkuras dalam
sebuah ironi yang memilukan: praktik yang oleh banyak pihak disebut sebagai
"pemborosan sumber daya alam yang fantastis." Selama puluhan tahun,
terlepas dari pergantian rezim—dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era
Reformasi—izin-izin eksploitasi hutan tampaknya terlalu mudah diberikan kepada
"konglomerasi pelahap hutan."
Pada puncaknya di era Orde Baru, laju deforestasi pernah
mencapai 3 juta hektar per tahun. Meskipun angka resmi terbaru (2021-2022)
mencatat penurunan netto menjadi sekitar 104 ribu hektar per tahun, angka ini
tetap menyembunyikan kenyataan bahwa lebih dari 42 juta hektar lahan di
Indonesia sudah benar-benar gundul. Pertanyaannya: Mengapa kita begitu mudah
menukar kekayaan ekologis jangka panjang dengan keuntungan ekonomi sesaat?
Inilah urgensi bagi kita untuk memahami anatomi pemborosan hutan di rumah
sendiri.
Pembahasan Utama: Mengupas Akar Kerusakan Hutan
Pemborosan hutan di Indonesia dipicu oleh kompleksitas
masalah yang melampaui sekadar penebangan pohon.
1. Eksploitasi Legalitas dan Ancaman Hutan Primer
Inti dari masalah ini terletak pada kemudahan izin yang
membuat deru gergaji mesin dan alat-alat berat leluasa merambah kawasan hutan.
Padahal, ekosistem yang paling berharga dan harus dilindungi adalah Hutan
Primer—hutan perawan yang belum pernah diganggu. Data menunjukkan sisa
hutan primer kita hanya sekitar 43 juta hektar.
Menggunduli hutan primer tidak hanya menghilangkan kayu,
tetapi juga menghancurkan Plasma Nutfah (keanekaragaman genetik) unik
yang telah berinteraksi secara harmonis selama ribuan tahun (Gibson et al.,
2011).
Analogi: Hutan primer ibarat perpustakaan kuno yang
menyimpan jutaan buku langka. Ketika kita meratakannya untuk dijadikan Hutan
Tanaman Industri (HTI) yang homogen, itu sama dengan mengganti perpustakaan
kuno dengan rak-rak kosong. Secara kuantitas, hutan ada; namun secara kualitas
ekosistem dan keanekaragaman hayati, nilainya nol besar.
2. Kesenjangan Data dan Besarnya Skala Kerusakan
Meskipun laju deforestasi mengalami fluktuasi, kehilangan
hutan tetap terjadi dalam skala yang melampaui akal sehat. Ketika deforestasi
berada pada angka 1,1 juta hektar per tahun (data awal Reformasi), luas kawasan
yang hilang setara dengan 17 kali luas Provinsi DKI Jakarta atau dua
kali lipat luas Provinsi Bali setiap tahunnya.
Angka 104 ribu hektar per tahun (2021-2022) menunjukkan
adanya upaya perbaikan, tetapi kelompok-kelompok pemantau independen seperti
Auriga Nusantara mencatat kenaikan deforestasi bruto menjadi 257 ribu hektar
pada tahun 2023, didominasi oleh konversi lahan dalam kawasan hutan negara
(Auriga Nusantara, 2024).
Faktanya, sebagian besar kegiatan penebangan hutan yang
sistematis dan masif ini didorong oleh kepentingan industri berbasis kehutanan.
Sayangnya, kegiatan ini seringkali tidak berpihak pada kepentingan ekologi dan
menghasilkan nilai ekonomi yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang
harus dikeluarkan untuk pemulihan lingkungan (Balmford et al., 2002).
3. Kemiskinan sebagai Pendorong Kerusakan Lokal
Di sisi lain, kerusakan hutan juga didorong oleh masyarakat
lokal di sekitar hutan yang terpaksa menebang pohon untuk mencari nafkah akibat
kemiskinan dan ketiadaan sumber penghidupan lain.
Masalah ini diperparah oleh minimnya pengawasan dan
keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam menjaga hutan di wilayahnya
(Tacconi, 2016). Akibatnya, hutan-hutan di daerah, bahkan kawasan lindung,
seolah menjadi "tidak bertuan" dan mudah beralih fungsi.
Implikasi & Solusi: Dari Banjir Lokal hingga Krisis
Global
Dampak dari pemborosan hutan ini terasa secara bertingkat,
dari bencana lokal hingga kontribusi pada krisis iklim global.
Dampak Lokal Nyata: Krisis Ekologis di Enam Pulau Utama
1. Jawa: Krisis Air dan Bencana Hidrologi
Meskipun hutan di Jawa sudah sangat minim, kerusakannya
memiliki dampak terberat karena kepadatan penduduknya.
- Contoh
Kasus: Hulu Citarum (Gunung Wayang): Seperti yang disinggung sebelumnya,
alih fungsi hutan menjadi kebun sayur di hulu Citarum menyebabkan
hilangnya fungsi hutan sebagai "spons raksasa" penampung air.
Hal ini mengakibatkan banjir langganan di kawasan hilir (Baleendah,
Majalaya) dan meningkatkan risiko longsor di daerah pegunungan seperti
Pacet dan Kertasari.
- Implikasi
Lanjut: Gangguan debit air ini mengancam keberlangsungan infrastruktur
vital seperti Waduk Jatiluhur dan Saguling, yang merupakan pemasok listrik
dan irigasi bagi jutaan orang. Krisis air bersih di musim kemarau juga
diperparah karena cadangan air tanah minim akibat limpasan permukaan yang
tinggi.
2. Sumatera: Banjir Bandang dan Kabut Asap
Hutan di Sumatera, terutama hutan rawa gambut, mengalami
tekanan dari industri perkebunan, khususnya sawit, dan pembalakan liar.
- Banjir
Bandang: Penggundulan hutan di dataran tinggi menyebabkan peningkatan
erosi dan sedimentasi. Akibatnya, sungai-sungai tidak mampu menampung
volume air saat hujan deras, memicu banjir bandang yang destruktif,
seperti yang sering terjadi di Sumatra Utara dan Aceh.
- Kabut
Asap (Haze): Konversi lahan gambut untuk perkebunan seringkali
melibatkan pengeringan dan pembakaran lahan. Gambut yang terbakar
melepaskan asap tebal yang menyebabkan kabut asap lintas batas
(transboundary haze) dan merupakan sumber emisi karbon global yang sangat
besar (Van Der Werf et al., 2008).
3. Kalimantan: Konflik Satwa dan Defisit Air
Kalimantan adalah pusat dari eksploitasi hutan primer dan
pertambangan batu bara yang masif.
- Habitat
Terfragmentasi: Deforestasi merusak habitat spesifik fauna ikonik
seperti Orangutan, memicu konflik satwa liar karena satwa
mencari makan di perkebunan atau permukiman manusia.
- Kerusakan
Lahan Bekas Tambang: Lubang-lubang raksasa bekas tambang dibiarkan
terbuka, mencemari air sungai dengan limbah asam dan lumpur, serta merusak
sistem hidrologi lokal secara permanen (Tacconi, 2016).
4. Sulawesi: Ancaman Tanah Longsor dan Kerusakan Pesisir
Deforestasi di Sulawesi, terutama untuk perkebunan skala
kecil dan pertambangan nikel, sangat terasa dampaknya pada topografi pulau yang
curam.
- Longsor
Dahsyat: Struktur tanah yang curam dan tidak memiliki penahan akar
pohon hutan sangat rentan terhadap erosi, menyebabkan tanah longsor
dahsyat yang sering memutus akses transportasi dan menelan korban
jiwa, khususnya saat musim hujan.
- Sedimentasi
Laut: Erosi yang parah membawa lumpur ke sungai dan akhirnya ke laut,
menyebabkan sedimentasi yang merusak ekosistem pesisir, termasuk
terumbu karang yang sensitif.
5. Maluku dan Papua: Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Endemik
Kedua kawasan ini, yang masih memiliki hutan primer luas, kini
menghadapi ancaman konversi skala besar untuk industri ekstraktif dan
perkebunan.
- Kehilangan
Plasma Nutfah: Maluku dan Papua adalah pusat endemisme flora
dan fauna yang sangat tinggi (Gibson et al., 2011). Penggundulan hutan
primer di sini berarti hilangnya spesies yang belum teridentifikasi oleh
sains, yang berpotensi memiliki nilai obat atau genetik yang tinggi.
- Kerusakan
Kultural: Hutan di Papua memiliki nilai kultural dan spiritual
yang mendalam bagi masyarakat adat. Deforestasi tidak hanya merusak
lingkungan tetapi juga mengancam eksistensi dan cara hidup tradisional
mereka.
Dampak Global: Emisi Karbon
Di level global, hutan tropis Indonesia berperan vital dalam
menyerap karbon dioksida ($CO_2$). Ketika hutan ditebang atau, lebih buruk
lagi, dibakar, karbon yang tersimpan dilepaskan ke atmosfer, mempercepat efek
rumah kaca dan pemanasan global (Van Der Werf et al., 2008). Kontribusi emisi
dari deforestasi Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kecenderungan pemanasan global (Margono et al., 2014).
Solusi Berbasis Penelitian: Total Economic Value (TEV)
Untuk menghentikan pemborosan ini, pendekatan ekonomi harus
diubah. Solusi berbasis data menuntut pengakuan terhadap Nilai Ekonomi Total
(Total Economic Value - TEV) hutan. TEV tidak hanya menghitung harga kayu,
tetapi juga nilai jasa lingkungan yang tidak terlihat, seperti penyerapan
karbon, pencegahan erosi, penyediaan air bersih, dan pelestarian keanekaragaman
hayati.
Langkah-langkah Kritis:
- Penguatan
Tata Kelola Hutan: Memperketat pengawasan, memperjelas kewenangan
pemerintah daerah, dan memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap
penebangan liar dan penyalahgunaan izin.
- Meningkatkan
Nilai Jasa Ekosistem: Mendorong skema seperti REDD+ (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan mekanisme
pembayaran jasa lingkungan lainnya, sehingga menjaga hutan hidup bernilai
lebih tinggi daripada menebangnya.
- Pemberdayaan
Masyarakat: Mengubah masyarakat sekitar hutan dari pelaku perambahan
menjadi penjaga hutan, melalui program perhutanan sosial yang memberikan
mereka akses legal untuk mengelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) secara
berkelanjutan.
Kesimpulan: Stop Deforestasi, Selamatkan Masa Depan
Indonesia tidak bisa lagi boros hutan. Kita tidak hanya
merobohkan "rumah" kita sendiri, tetapi juga membahayakan stabilitas
ekologis global. Ancaman terhadap kelangsungan Waduk Jatiluhur akibat alih
fungsi lahan di Citarum adalah cerminan kecil dari krisis yang lebih besar yang
mengancam seluruh planet.
Sudah selayaknya Pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan
masyarakat, meningkatkan keseriusan dalam menjaga kelestarian hutan. Stop
deforestasi! Stop penebangan hutan primer dengan alasan apapun!
Jika kita gagal melindungi paru-paru dunia, lantas di mana
lagi anak cucu kita akan bernapas dengan lega? Tanggung jawab ini tidak dapat
ditunda lagi. Mari bertindak, mengubah pemborosan menjadi pembangunan yang
berkelanjutan.
📚 Sumber & Referensi
- Balmford,
A., et al. (2002). Economic reasons for conserving wild nature. Science,
297(5581), 950–953.
- Gibson,
L., et al. (2011). Primary forests are irreplaceable for sustaining
tropical biodiversity. Nature, 478(7369), 378–381.
- Margono,
B. A., et al. (2014). Primary forest cover loss in Indonesia
consistent with historical analyses. Nature Climate Change, 4(11),
940–944.
- Tacconi,
L. (2016). Deforestation in Indonesia: policy, governance, and
institutional challenges. Review of Environmental Economics and Policy,
10(1), 164-184.
- Van
Der Werf, G. R., et al. (2008). Carbon emissions from deforestation in
the tropics. Nature Geoscience, 1(11), 737–742.
🏷️ 10 Hashtag
#StopDeforestasi #HutanIndonesia #ParuParuDunia #KrisisIklim
#JasaEkosistem #HutanPrimer #PengelolaanHutan #Ekologi #BencanaEkologis
#PembangunanBerkelanjutan

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.