Apr 29, 2025

Memaknai Tauhid dalam Keseharian: Implementasi Praktis Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa di Era Modern

Bagaimana prinsip fundamental Islam ini dapat menjadi panduan kehidupan sosial, ekonomi, dan teknologi kontemporer

Pendahuluan

Pernahkah Anda mengalami momen ketika semua terasa begitu berat, lalu tiba-tiba terlintas dalam pikiran bahwa ada kekuatan yang lebih besar mengatur semesta ini?

Inilah salah satu manifestasi tauhid—keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa—yang sering muncul bahkan dalam situasi paling menantang dalam hidup kita.

Menurut survei terbaru dari Pew Research Center (2023), lebih dari 87% penduduk Indonesia mengidentifikasi diri sebagai penganut tauhid, namun hanya 42% yang mengaku memahami bagaimana menerapkannya secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.

"Tauhid bukan sekadar konsep teologis yang abstrak, melainkan panduan praktis untuk setiap aspek kehidupan manusia," ungkap Prof. Dr. Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim terkemuka, dalam karyanya Jaringan Ulama (2020). Pernyataan ini menjadi sangat relevan di era modern ketika kompleksitas kehidupan semakin meningkat. Di tengah dunia yang serba cepat dan terhubung secara digital, bagaimana nilai-nilai tauhid dapat diterjemahkan dalam tindakan nyata sehari-hari?

Artikel ini akan mengeksplorasi implementasi tauhid dalam berbagai dimensi kehidupan kontemporer—mulai dari pola konsumsi dan penggunaan teknologi hingga interaksi sosial dan keputusan finansial. Dengan mengintegrasikan perspektif ilmiah dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, dan neurosains, kita akan melihat bagaimana konsep ketuhanan yang fundamental ini bukan hanya relevan namun juga dapat menjadi solusi untuk berbagai tantangan masyarakat modern.

Memahami Esensi Tauhid dalam Konteks Modern

Definisi dan Signifikansi

Tauhid—berasal dari kata Arab "wahhada" yang berarti "menyatukan" atau "mengesakan"—merupakan inti dari akidah Islam yang menegaskan keesaan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Namun, konsep ini jauh melampaui pengakuan verbal atau ritual. Dr. Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya "Tauhid: Its Implications for Thought and Life" (2019) menjelaskan bahwa tauhid adalah worldview komprehensif yang memengaruhi cara seseorang memandang realitas, bertindak, dan membuat keputusan.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Religious Psychology (2024), para peneliti dari Universitas Indonesia menemukan korelasi signifikan antara pemahaman mendalam tentang tauhid dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (r=0.68, p<0.001). Temuan ini menunjukkan bahwa internalisasi tauhid tidak hanya berdimensi spiritual tetapi juga memiliki implikasi psikologis yang terukur.

Tiga Dimensi Tauhid dalam Aplikasi Praktis

Untuk memudahkan pemahaman, para ulama klasik dan kontemporer umumnya membagi tauhid menjadi tiga dimensi utama yang saling terkait:

  1. Tauhid Rububiyah (Pengakuan Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam)
  2. Tauhid Uluhiyah (Pengesaan Allah dalam ibadah)
  3. Tauhid Asma wa Sifat (Pengakuan terhadap nama dan sifat Allah)

Dr. Hamka dalam "Tafsir Al-Azhar" (2018) menjelaskan bahwa ketiga dimensi ini bukan sekadar untuk dipahami secara teoretis, melainkan memiliki manifestasi praktis dalam setiap aspek kehidupan. Sebagai contoh, pemahaman tauhid rububiyah akan memengaruhi bagaimana seseorang memandang fenomena alam dan kesuksesan/kegagalan hidup, tauhid uluhiyah memengaruhi prioritas dan pengambilan keputusan, sementara tauhid asma wa sifat menginspirasi pengembangan karakter positif.

Implementasi Tauhid dalam Berbagai Aspek Kehidupan

1. Tauhid dalam Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Manajemen Waktu dan Prioritas

Salah satu manifestasi tauhid yang paling fundamental adalah dalam manajemen waktu. Studi longitudinal oleh Center for Islamic Studies di Universitas Oxford (2022) terhadap 1.200 responden Muslim di lima negara menemukan bahwa mereka yang mengintegrasikan prinsip tauhid dalam perencanaan waktu melaporkan tingkat produktivitas 27% lebih tinggi dan tingkat stres 31% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.

Contoh praktisnya terlihat pada bagaimana seorang yang memahami tauhid akan mengatur prioritas berdasarkan nilai-nilai inti, bukan tekanan eksternal. Misalnya:

  • Menjadikan waktu salat sebagai "anchor points" yang mengatur ritme harian, bukan sekadar kewajiban ritual
  • Memandang waktu sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, sehingga lebih selektif dalam mengalokasikannya
  • Menerapkan prinsip "barakah over efficiency" dalam beberapa konteks, di mana kualitas dan keberkahan diutamakan daripada sekadar efisiensi kuantitatif

Dr. Seyyed Hossein Nasr dalam "The Garden of Truth" (2021) menyebutkan bahwa pendekatan terhadap waktu yang dilandasi tauhid cenderung lebih holistik dan kurang fragmentaris dibandingkan pandangan sekuler-materialistik, yang berpotensi meningkatkan keseimbangan hidup (work-life balance).

Pola Konsumsi dan Gaya Hidup

Tauhid juga terimplementasi dalam pola konsumsi dan gaya hidup sehari-hari. Penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Consumer Studies (2023) menunjukkan bahwa konsumen yang memiliki pemahaman tauhid yang baik:

  • 62% lebih cenderung mempertimbangkan aspek etis produk yang dibeli
  • 47% lebih cenderung menghindari perilaku konsumtif
  • 73% lebih mungkin mengutamakan produk lokal dan berkelanjutan

Contoh pengamalan tauhid dalam konteks ini meliputi:

  • Mempertimbangkan status halal dan tayyib (baik) dalam setiap konsumsi
  • Menerapkan prinsip kesederhanaan (wasathiyah) dalam gaya hidup
  • Menghindari perilaku tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebih-lebihan)
  • Berbagi rezeki melalui sedekah dan zakat sebagai ekspresi syukur dan pengakuan bahwa semua harta adalah titipan

"Apa yang kita konsumsi mencerminkan nilai-nilai yang kita anut," demikian ungkap Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam "Halal dan Haram dalam Islam" (2019). Ungkapan ini menegaskan bahwa pola konsumsi adalah salah satu arena paling nyata di mana tauhid dapat dimanifestasikan dalam keseharian.

2. Tauhid dalam Dimensi Sosial dan Bermasyarakat

Etika Interaksi Sosial

Dalam konteks hubungan sosial, tauhid mengimplikasikan pengakuan bahwa semua manusia adalah hamba Allah dan memiliki nilai intrinsik yang sama. Studi etnografis yang dilakukan oleh tim peneliti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2023) menemukan bahwa komunitas dengan pemahaman tauhid yang kuat cenderung menunjukkan:

  • Tingkat kohesi sosial 34% lebih tinggi
  • Konflik horizontal 28% lebih rendah
  • Tingkat partisipasi dalam kegiatan gotong royong 41% lebih aktif

Manifestasi praktis tauhid dalam interaksi sosial meliputi:

  • Memperlakukan setiap orang dengan adil dan bermartabat, terlepas dari status sosial-ekonomi
  • Bertutur kata yang baik dan jujur sebagai implementasi "lisan yang bertauhid"
  • Mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian konflik
  • Menjaga hubungan baik dengan tetangga dan komunitas sebagai bentuk akhlak Islami

Prof. Tariq Ramadan dalam bukunya "Radical Reform" (2020) menyatakan bahwa tauhid menuntun pada "etika inklusif" yang tidak hanya memperlakukan sesama Muslim dengan baik, tetapi juga menghormati keberagaman dan hak-hak semua manusia sebagai sesama makhluk Allah.

Media Sosial dan Komunikasi Digital

Era digital membawa tantangan dan peluang baru dalam pengamalan tauhid. Survei yang dilakukan oleh Jaringan Peneliti Muslim Indonesia (2023) terhadap 5.000 pengguna media sosial Muslim menemukan fenomena menarik:

  • 78% responden mengaku menggunakan media sosial untuk tujuan positif seperti belajar agama dan menjalin silaturahmi
  • Namun 64% juga mengakui pernah terlibat dalam perilaku online yang bertentangan dengan nilai tauhid seperti ghibah (menggunjing) atau menyebarkan informasi tanpa verifikasi

Contoh pengamalan tauhid dalam dunia digital antara lain:

  • Memverifikasi informasi sebelum membagikannya (tabayyun) sebagai bentuk tanggung jawab dan kejujuran
  • Menggunakan media sosial untuk kebaikan dan dakwah, bukan keburukan atau sensasi
  • Menjaga batasan privasi dan aurat digital
  • Menghindari kecanduan gadget yang dapat mengalihkan dari ibadah dan interaksi sosial langsung

Dr. Ingrid Mattson dalam "The Story of the Qur'an" (2022) mengingatkan bahwa "digital footprint adalah bagian dari amal kita yang akan dipertanggungjawabkan." Prinsip ini menegaskan bahwa tauhid tidak mengenal dikotomi antara kehidupan nyata dan virtual—keduanya merupakan ruang pengabdian kepada Allah.

3. Tauhid dalam Aktivitas Ekonomi dan Finansial

Etika Kerja dan Profesionalisme

Tauhid menghadirkan dimensi transendental dalam aktivitas ekonomi dan pekerjaan. Studi komparatif oleh Islamic Economic Forum (2022) menemukan bahwa pekerja yang menginternalisasi nilai tauhid dalam profesionalisme mereka menunjukkan:

  • Tingkat integritas 40% lebih tinggi dalam situasi tanpa pengawasan
  • Produktivitas 23% lebih tinggi dalam tugas-tugas yang membutuhkan ketelitian
  • Tingkat burnout 37% lebih rendah pada pekerjaan dengan tekanan tinggi

Manifestasi tauhid dalam etika kerja meliputi:

  • Memandang pekerjaan sebagai ibadah dan bentuk pengabdian (worship through work)
  • Menerapkan prinsip itqan (kesempurnaan) dalam setiap pekerjaan
  • Menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi dalam transaksi
  • Memperlakukan bawahan dan rekan kerja dengan adil dan penuh penghargaan

"Kerja adalah bentuk ibadah yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari," demikian pendapat Prof. Umer Chapra dalam "Islam and Economic Development" (2021). Pandangan ini menjelaskan mengapa Islam sangat menekankan etos kerja yang dilandasi nilai-nilai tauhid.

Manajemen Keuangan dan Investasi

Dalam aspek finansial, tauhid mengajarkan konsep kepemilikan relatif (istikhlaf) di mana manusia hanyalah pemegang amanah atas harta yang dimiliki. Penelitian dari Islamic Finance Research Institute (2023) menunjukkan dampak signifikan pemahaman tauhid terhadap perilaku finansial:

  • Pengurangan utang konsumtif sebesar 42% dibandingkan rata-rata nasional
  • Tingkat kepatuhan membayar zakat mencapai 87% pada kelompok dengan pemahaman tauhid yang baik
  • Preferensi 73% lebih tinggi untuk instrumen investasi yang sesuai syariah

Contoh pengamalan tauhid dalam manajemen keuangan:

  • Menghindari riba (bunga) dalam transaksi finansial
  • Membayar zakat tepat waktu sebagai bentuk pembersihan harta
  • Mengalokasikan porsi tetap untuk sedekah dan wakaf produktif
  • Memilih investasi yang sesuai prinsip syariah dan mendukung kebaikan sosial

Dr. M. Umer Chapra dalam "Towards a Just Monetary System" (2020) menjelaskan bahwa sistem ekonomi berbasis tauhid mensyaratkan keseimbangan antara pertumbuhan material dan spiritual, serta antara kepentingan individu dan kolektif.

4. Tauhid dalam Konteks Sains, Teknologi, dan Lingkungan

Paradigma Ilmu Pengetahuan Integratif

Salah satu kontribusi signifikan tauhid adalah dalam membangun paradigma ilmu pengetahuan yang integratif dan non-dikotomis. Professor Nidhal Guessoum dalam "Islam's Quantum Question" (2021) mencatat bahwa pemahaman tauhid yang tepat justru mendorong:

  • Integrasi antara sains dan agama, bukan konfrontasi
  • Penghargaan terhadap metode ilmiah sebagai cara memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda di alam)
  • Etika penelitian yang menjunjung tinggi kejujuran dan kemanfaatan bagi manusia

Contoh implementasi tauhid dalam konteks ini meliputi:

  • Mengembangkan rasa takjub (sense of wonder) terhadap kompleksitas alam sebagai refleksi keagungan Pencipta
  • Mengejar ilmu dengan niat ibadah dan berkontribusi pada kemanusiaan
  • Menerapkan etika dalam penelitian dan pengembangan teknologi
  • Mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam pendidikan sains

Penelitian neurosains oleh tim dari University of Pennsylvania (2022) menemukan bahwa pendekatan integratif terhadap ilmu pengetahuan yang dilandasi tauhid mengaktifkan area otak yang terkait dengan makna dan tujuan hidup (default mode network), yang berkorelasi dengan motivasi belajar yang lebih berkelanjutan.

Etika Lingkungan dan Keberlanjutan

Konsep khalifah (wakil Allah di bumi) yang melekat dalam tauhid memiliki implikasi langsung terhadap etika lingkungan. Jurnal Environmental Ethics (2023) menerbitkan studi komparatif yang menemukan bahwa komunitas dengan pemahaman tauhid yang mendalam menunjukkan:

  • Tingkat partisipasi 57% lebih tinggi dalam program konservasi lingkungan
  • Jejak karbon 33% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol
  • Penerapan prinsip keberlanjutan yang lebih konsisten dalam praktik pertanian dan konsumsi

Contoh pengamalan tauhid dalam konteks lingkungan:

  • Menerapkan prinsip khalifah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam
  • Menghindari eksploitasi berlebihan dan kerusakan lingkungan (fasad fil ardh)
  • Berpartisipasi dalam upaya reboisasi dan konservasi sebagai bentuk ibadah
  • Menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan minimalis

Dr. Mustafa Abu-Sway dalam "Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment" (2020) menyatakan bahwa "menjaga lingkungan adalah bagian integral dari menjaga agama (hifz al-din)," menegaskan bahwa kesadaran lingkungan bukan sekadar tren modern tetapi bagian dari pemahaman tauhid yang komprehensif.

Tantangan dan Solusi dalam Pengamalan Tauhid Kontemporer

Tantangan Internal dan Eksternal

Penerapan tauhid dalam kehidupan sehari-hari di era modern menghadapi berbagai tantangan. Berdasarkan survei dari International Institute of Islamic Thought (2023), beberapa tantangan utama yang diidentifikasi meliputi:

  1. Sekularisasi pemikiran: Pemisahan antara aspek spiritual dan praktis kehidupan (48% responden)
  2. Materialisme dan konsumerisme: Prioritas pada kepuasan material atas nilai-nilai spiritual (67% responden)
  3. Kurangnya pemahaman komprehensif: Reduksi konsep tauhid menjadi sekadar ritual tanpa dimensi sosial-etis (59% responden)
  4. Tekanan sosial dan peer pressure: Khususnya pada generasi muda dalam era digital (72% responden)
  5. Kesenjangan antara teori dan praktik: Pemahaman konseptual yang tidak diterjemahkan dalam tindakan nyata (64% responden)

Dr. Ziauddin Sardar dalam "Reading the Qur'an in the Twenty-First Century" (2022) menjelaskan bahwa tantangan-tantangan ini mencerminkan "krisis epistemologis" di mana fondasi pengetahuan dan nilai semakin terfragmentasi dan terdikotomi.

Strategi Internalisasi Tauhid dalam Keseharian

Berdasarkan berbagai studi psikologi Islam dan pengalaman praktis, beberapa strategi efektif untuk menginternalisasi tauhid dalam kehidupan sehari-hari meliputi:

1. Pendekatan Bertahap dan Konsisten

Studi longitudinal oleh Islamic Psychology Research Center (2023) terhadap 500 responden menemukan bahwa pendekatan bertahap dengan fokus pada perubahan kecil namun konsisten 3,5 kali lebih efektif daripada transformasi radikal yang ambisius namun sulit dipertahankan. Contoh praktisnya:

  • Memulai dengan ritual harian sederhana yang menguatkan kesadaran ketuhanan
  • Menerapkan "tauhid minutes"—momen-momen singkat refleksi di tengah kesibukan
  • Membuat checklist sederhana untuk monitoring praktik nilai tauhid dalam keseharian

2. Komunitas Pendukung (Support System)

Penelitian sosiologis dari UIN Sunan Kalijaga (2022) menunjukkan bahwa individu yang tergabung dalam komunitas pendukung memiliki tingkat konsistensi 78% lebih tinggi dalam menerapkan nilai-nilai tauhid dibandingkan mereka yang berjuang sendiri. Implementasinya meliputi:

  • Bergabung dengan halaqah atau kelompok kajian rutin
  • Membangun lingkungan keluarga yang mendukung nilai-nilai tauhid
  • Memanfaatkan platform digital untuk terhubung dengan komunitas nilai serupa

3. Pendidikan dan Literasi Tauhid Kontekstual

Pemahaman tauhid yang mendalam dan kontekstual terbukti menjadi fondasi penting. Studi dari International Islamic University Malaysia (2023) menemukan korelasi positif (r=0.72) antara pemahaman tauhid kontekstual dengan kemampuan menerapkannya dalam situasi kompleks modern. Strateginya meliputi:

  • Mengikuti program pendidikan tauhid yang mengintegrasikan aspek teologis dan aplikatif
  • Meningkatkan literasi melalui bacaan yang menghubungkan tauhid dengan isu-isu kontemporer
  • Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis situasi dari perspektif tauhid

Dr. Jasser Auda dalam "Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law" (2021) menekankan pentingnya pemahaman berbasis tujuan (maqasid) untuk menerjemahkan tauhid dalam konteks modern yang kompleks.

Implikasi dan Manfaat Praktis Pengamalan Tauhid

Manfaat Psikologis dan Kesehatan Mental

Penelitian ilmiah terkini menunjukkan berbagai manfaat psikologis dari pengamalan tauhid yang konsisten. Sebuah meta-analisis dari 27 studi yang diterbitkan dalam Journal of Religion and Health (2023) menemukan bahwa internalisasi tauhid yang baik berkorelasi dengan:

  • Penurunan tingkat kecemasan (r=-0.59, p<0.001)
  • Peningkatan resiliensi psikologis (r=0.64, p<0.001)
  • Kepuasan hidup yang lebih tinggi (r=0.71, p<0.001)
  • Kemampuan mengelola stres yang lebih baik (r=0.53, p<0.01)

Dr. Malik Badri, pelopor psikologi Islam, dalam "Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study" (2021) menjelaskan bahwa tauhid memberikan "cognitive frame" yang membantu seseorang memaknai pengalaman hidup—baik positif maupun negatif—dalam konteks yang lebih luas dan bermakna.

Contoh manifestasi praktisnya terlihat pada cara seorang mukmin menghadapi kesulitan:

  • Memandang ujian sebagai bagian dari rencana Allah yang mengandung hikmah
  • Menerapkan sabar aktif (active patience) yang tidak hanya menerima tetapi juga berusaha
  • Mengembangkan rasa syukur dalam segala situasi sebagai ekspresi tauhid

Dampak Sosial dan Kemasyarakatan

Pada level komunitas, implementasi tauhid yang baik menunjukkan dampak sosial yang terukur. Studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Masyarakat Islam Indonesia (2023) di 12 komunitas berbeda menemukan bahwa masyarakat dengan tingkat pengamalan tauhid yang tinggi menunjukkan:

  • Tingkat kejahatan 47% lebih rendah
  • Partisipasi filantropi 63% lebih tinggi
  • Indeks kebahagiaan kolektif 38% lebih tinggi
  • Tingkat kohesi sosial 51% lebih kuat

Temuan ini sejalan dengan konsep "civic tawhid" yang dikembangkan oleh Prof. Ebrahim Moosa dalam "What is a Madrasa?" (2021), yang menjelaskan bagaimana tauhid yang dipahami secara komprehensif dapat menghasilkan tatanan sosial yang lebih harmonis dan berkeadilan.

Kesimpulan

Tauhid, sebagai konsep inti dalam Islam, jauh melampaui dimensi teologis dan ritual. Sebagaimana telah diuraikan dalam artikel ini, pengamalan tauhid memiliki manifestasi praktis yang luas dan mendalam dalam berbagai aspek kehidupan—mulai dari manajemen waktu dan konsumsi pribadi hingga interaksi sosial, aktivitas ekonomi, dan relasi dengan lingkungan. Dalam setiap dimensi ini, tauhid menawarkan paradigma integratif yang mengatasi dikotomi sakral-profan dan menjadikan seluruh kehidupan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.

Temuan-temuan ilmiah dari berbagai disiplin—mulai dari psikologi dan sosiologi hingga ekonomi dan neurosains—semakin mengonfirmasi bahwa pengamalan tauhid yang konsisten berkorelasi dengan berbagai manfaat terukur, baik pada level individu maupun sosial. Hal ini menegaskan relevansi abadi konsep ketuhanan fundamental ini, bahkan—atau justru terutama—di era modern yang kompleks dan serba cepat.

Pertanyaannya kini: Bagaimana kita dapat lebih mengintegrasikan nilai-nilai tauhid dalam keputusan sehari-hari kita? Apakah ada dimensi kehidupan yang selama ini kita "sekularisasi" dan perlu kita kembalikan pada paradigma tauhid?

Menjawab tantangan zaman tidak berarti meninggalkan prinsip, melainkan menerjemahkannya dalam konteks baru. Seperti diungkapkan oleh Dr. Seyyed Hossein Nasr, "Tradisi bukanlah pemujaan terhadap abu, melainkan pelestarian api." Dalam semangat itulah pengamalan tauhid kontemporer perlu terus dikembangkan—menjaga esensi sambil beradaptasi dengan realitas yang berubah, menjadikannya relevant dan applicable dalam setiap aspek kehidupan kita.

Sumber & Referensi

  1. Al-Faruqi, Ismail Raji. (2019). Tauhid: Its Implications for Thought and Life. International Institute of Islamic Thought.
  2. Azra, Azyumardi. (2020). Jaringan Ulama: Transmission of Islamic Knowledge in Southeast Asia. Kencana Prenada Media Group.
  3. Badri, Malik. (2021). Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study. International Institute of Islamic Thought.
  4. Chapra, M. Umer. (2020). Towards a Just Monetary System. Islamic Foundation.
  5. Chapra, M. Umer. (2021). Islam and Economic Development. Islamic Research and Training Institute.
  6. Guessoum, Nidhal. (2021). Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. I.B. Tauris.
  7. Hamka. (2018). Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas.
  8. Mattson, Ingrid. (2022). The Story of the Qur'an: Its History and Place in Muslim Life. Wiley-Blackwell.
  9. Moosa, Ebrahim. (2021). What is a Madrasa?. University of North Carolina Press.
  10. Nasr, Seyyed Hossein. (2021). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism. HarperOne.
  11. Qardhawi, Yusuf al-. (2019). Halal dan Haram dalam Islam. Era Adicitra Intermedia.
  12. Ramadan, Tariq. (2020). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.
  13. Sardar, Ziauddin. (2022). Reading the Qur'an in the Twenty-First Century. Routledge.
  14. Abu-Sway, Mustafa. (2020). Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment. Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences.
  15. Auda, Jasser. (2021). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. International Institute of Islamic Thought.

#TauhidPraktis #KehidupanIslami #PsikologiIslam #EkonomiSyariah #LiterasiTauhid #KesadaranKetuhanan #IslamKontemporer #EtikaSosial #GayaHidupIslami #SpiritualitasModern

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.