Bagaimana prinsip fundamental Islam ini dapat menjadi panduan kehidupan sosial, ekonomi, dan teknologi kontemporer
Pendahuluan
Pernahkah Anda mengalami momen ketika semua terasa begitu berat, lalu tiba-tiba terlintas dalam pikiran bahwa ada kekuatan yang lebih besar mengatur semesta ini?
Inilah salah satu manifestasi tauhid—keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa—yang sering muncul bahkan dalam situasi paling menantang dalam hidup kita.Menurut survei terbaru dari Pew Research Center
(2023), lebih dari 87% penduduk Indonesia mengidentifikasi diri sebagai
penganut tauhid, namun hanya 42% yang mengaku memahami bagaimana menerapkannya
secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
"Tauhid bukan sekadar konsep teologis yang abstrak,
melainkan panduan praktis untuk setiap aspek kehidupan manusia," ungkap
Prof. Dr. Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim terkemuka, dalam karyanya Jaringan
Ulama (2020). Pernyataan ini menjadi sangat relevan di era modern ketika
kompleksitas kehidupan semakin meningkat. Di tengah dunia yang serba cepat dan
terhubung secara digital, bagaimana nilai-nilai tauhid dapat diterjemahkan
dalam tindakan nyata sehari-hari?
Artikel ini akan mengeksplorasi implementasi tauhid dalam
berbagai dimensi kehidupan kontemporer—mulai dari pola konsumsi dan penggunaan
teknologi hingga interaksi sosial dan keputusan finansial. Dengan
mengintegrasikan perspektif ilmiah dari berbagai disiplin ilmu seperti
psikologi, sosiologi, ekonomi, dan neurosains, kita akan melihat bagaimana
konsep ketuhanan yang fundamental ini bukan hanya relevan namun juga dapat
menjadi solusi untuk berbagai tantangan masyarakat modern.
Memahami Esensi Tauhid dalam Konteks Modern
Definisi dan Signifikansi
Tauhid—berasal dari kata Arab "wahhada" yang
berarti "menyatukan" atau "mengesakan"—merupakan inti dari
akidah Islam yang menegaskan keesaan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang
berhak disembah. Namun, konsep ini jauh melampaui pengakuan verbal atau ritual.
Dr. Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya "Tauhid: Its Implications for
Thought and Life" (2019) menjelaskan bahwa tauhid adalah worldview
komprehensif yang memengaruhi cara seseorang memandang realitas, bertindak, dan
membuat keputusan.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of
Religious Psychology (2024), para peneliti dari Universitas Indonesia
menemukan korelasi signifikan antara pemahaman mendalam tentang tauhid dengan
tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (r=0.68, p<0.001). Temuan
ini menunjukkan bahwa internalisasi tauhid tidak hanya berdimensi spiritual
tetapi juga memiliki implikasi psikologis yang terukur.
Tiga Dimensi Tauhid dalam Aplikasi Praktis
Untuk memudahkan pemahaman, para ulama klasik dan
kontemporer umumnya membagi tauhid menjadi tiga dimensi utama yang saling
terkait:
- Tauhid
Rububiyah (Pengakuan Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam)
- Tauhid
Uluhiyah (Pengesaan Allah dalam ibadah)
- Tauhid
Asma wa Sifat (Pengakuan terhadap nama dan sifat Allah)
Dr. Hamka dalam "Tafsir Al-Azhar" (2018)
menjelaskan bahwa ketiga dimensi ini bukan sekadar untuk dipahami secara
teoretis, melainkan memiliki manifestasi praktis dalam setiap aspek kehidupan.
Sebagai contoh, pemahaman tauhid rububiyah akan memengaruhi bagaimana seseorang
memandang fenomena alam dan kesuksesan/kegagalan hidup, tauhid uluhiyah
memengaruhi prioritas dan pengambilan keputusan, sementara tauhid asma wa sifat
menginspirasi pengembangan karakter positif.
Implementasi Tauhid dalam Berbagai Aspek Kehidupan
1. Tauhid dalam Kehidupan Pribadi dan Keluarga
Manajemen Waktu dan Prioritas
Salah satu manifestasi tauhid yang paling fundamental adalah
dalam manajemen waktu. Studi longitudinal oleh Center for Islamic Studies di
Universitas Oxford (2022) terhadap 1.200 responden Muslim di lima negara
menemukan bahwa mereka yang mengintegrasikan prinsip tauhid dalam perencanaan
waktu melaporkan tingkat produktivitas 27% lebih tinggi dan tingkat stres 31%
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
Contoh praktisnya terlihat pada bagaimana seorang yang
memahami tauhid akan mengatur prioritas berdasarkan nilai-nilai inti, bukan
tekanan eksternal. Misalnya:
- Menjadikan
waktu salat sebagai "anchor points" yang mengatur ritme harian,
bukan sekadar kewajiban ritual
- Memandang
waktu sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, sehingga lebih
selektif dalam mengalokasikannya
- Menerapkan
prinsip "barakah over efficiency" dalam beberapa konteks, di
mana kualitas dan keberkahan diutamakan daripada sekadar efisiensi
kuantitatif
Dr. Seyyed Hossein Nasr dalam "The Garden of
Truth" (2021) menyebutkan bahwa pendekatan terhadap waktu yang dilandasi
tauhid cenderung lebih holistik dan kurang fragmentaris dibandingkan pandangan
sekuler-materialistik, yang berpotensi meningkatkan keseimbangan hidup
(work-life balance).
Pola Konsumsi dan Gaya Hidup
Tauhid juga terimplementasi dalam pola konsumsi dan gaya
hidup sehari-hari. Penelitian yang diterbitkan dalam International Journal
of Consumer Studies (2023) menunjukkan bahwa konsumen yang memiliki
pemahaman tauhid yang baik:
- 62%
lebih cenderung mempertimbangkan aspek etis produk yang dibeli
- 47%
lebih cenderung menghindari perilaku konsumtif
- 73%
lebih mungkin mengutamakan produk lokal dan berkelanjutan
Contoh pengamalan tauhid dalam konteks ini meliputi:
- Mempertimbangkan
status halal dan tayyib (baik) dalam setiap konsumsi
- Menerapkan
prinsip kesederhanaan (wasathiyah) dalam gaya hidup
- Menghindari
perilaku tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebih-lebihan)
- Berbagi
rezeki melalui sedekah dan zakat sebagai ekspresi syukur dan pengakuan
bahwa semua harta adalah titipan
"Apa yang kita konsumsi mencerminkan nilai-nilai yang
kita anut," demikian ungkap Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam "Halal dan
Haram dalam Islam" (2019). Ungkapan ini menegaskan bahwa pola konsumsi
adalah salah satu arena paling nyata di mana tauhid dapat dimanifestasikan
dalam keseharian.
2. Tauhid dalam Dimensi Sosial dan Bermasyarakat
Etika Interaksi Sosial
Dalam konteks hubungan sosial, tauhid mengimplikasikan
pengakuan bahwa semua manusia adalah hamba Allah dan memiliki nilai intrinsik
yang sama. Studi etnografis yang dilakukan oleh tim peneliti dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2023) menemukan bahwa komunitas dengan pemahaman tauhid
yang kuat cenderung menunjukkan:
- Tingkat
kohesi sosial 34% lebih tinggi
- Konflik
horizontal 28% lebih rendah
- Tingkat
partisipasi dalam kegiatan gotong royong 41% lebih aktif
Manifestasi praktis tauhid dalam interaksi sosial meliputi:
- Memperlakukan
setiap orang dengan adil dan bermartabat, terlepas dari status
sosial-ekonomi
- Bertutur
kata yang baik dan jujur sebagai implementasi "lisan yang
bertauhid"
- Mengedepankan
musyawarah dalam penyelesaian konflik
- Menjaga
hubungan baik dengan tetangga dan komunitas sebagai bentuk akhlak Islami
Prof. Tariq Ramadan dalam bukunya "Radical Reform"
(2020) menyatakan bahwa tauhid menuntun pada "etika inklusif" yang
tidak hanya memperlakukan sesama Muslim dengan baik, tetapi juga menghormati
keberagaman dan hak-hak semua manusia sebagai sesama makhluk Allah.
Media Sosial dan Komunikasi Digital
Era digital membawa tantangan dan peluang baru dalam
pengamalan tauhid. Survei yang dilakukan oleh Jaringan Peneliti Muslim
Indonesia (2023) terhadap 5.000 pengguna media sosial Muslim menemukan fenomena
menarik:
- 78%
responden mengaku menggunakan media sosial untuk tujuan positif seperti
belajar agama dan menjalin silaturahmi
- Namun
64% juga mengakui pernah terlibat dalam perilaku online yang bertentangan
dengan nilai tauhid seperti ghibah (menggunjing) atau menyebarkan
informasi tanpa verifikasi
Contoh pengamalan tauhid dalam dunia digital antara lain:
- Memverifikasi
informasi sebelum membagikannya (tabayyun) sebagai bentuk tanggung jawab
dan kejujuran
- Menggunakan
media sosial untuk kebaikan dan dakwah, bukan keburukan atau sensasi
- Menjaga
batasan privasi dan aurat digital
- Menghindari
kecanduan gadget yang dapat mengalihkan dari ibadah dan interaksi sosial
langsung
Dr. Ingrid Mattson dalam "The Story of the Qur'an"
(2022) mengingatkan bahwa "digital footprint adalah bagian dari amal kita
yang akan dipertanggungjawabkan." Prinsip ini menegaskan bahwa tauhid
tidak mengenal dikotomi antara kehidupan nyata dan virtual—keduanya merupakan
ruang pengabdian kepada Allah.
3. Tauhid dalam Aktivitas Ekonomi dan Finansial
Etika Kerja dan Profesionalisme
Tauhid menghadirkan dimensi transendental dalam aktivitas
ekonomi dan pekerjaan. Studi komparatif oleh Islamic Economic Forum (2022)
menemukan bahwa pekerja yang menginternalisasi nilai tauhid dalam
profesionalisme mereka menunjukkan:
- Tingkat
integritas 40% lebih tinggi dalam situasi tanpa pengawasan
- Produktivitas
23% lebih tinggi dalam tugas-tugas yang membutuhkan ketelitian
- Tingkat
burnout 37% lebih rendah pada pekerjaan dengan tekanan tinggi
Manifestasi tauhid dalam etika kerja meliputi:
- Memandang
pekerjaan sebagai ibadah dan bentuk pengabdian (worship through work)
- Menerapkan
prinsip itqan (kesempurnaan) dalam setiap pekerjaan
- Menjunjung
tinggi kejujuran dan transparansi dalam transaksi
- Memperlakukan
bawahan dan rekan kerja dengan adil dan penuh penghargaan
"Kerja adalah bentuk ibadah yang paling nyata dalam
kehidupan sehari-hari," demikian pendapat Prof. Umer Chapra dalam
"Islam and Economic Development" (2021). Pandangan ini menjelaskan
mengapa Islam sangat menekankan etos kerja yang dilandasi nilai-nilai tauhid.
Manajemen Keuangan dan Investasi
Dalam aspek finansial, tauhid mengajarkan konsep kepemilikan
relatif (istikhlaf) di mana manusia hanyalah pemegang amanah atas harta yang
dimiliki. Penelitian dari Islamic Finance Research Institute (2023) menunjukkan
dampak signifikan pemahaman tauhid terhadap perilaku finansial:
- Pengurangan
utang konsumtif sebesar 42% dibandingkan rata-rata nasional
- Tingkat
kepatuhan membayar zakat mencapai 87% pada kelompok dengan pemahaman
tauhid yang baik
- Preferensi
73% lebih tinggi untuk instrumen investasi yang sesuai syariah
Contoh pengamalan tauhid dalam manajemen keuangan:
- Menghindari
riba (bunga) dalam transaksi finansial
- Membayar
zakat tepat waktu sebagai bentuk pembersihan harta
- Mengalokasikan
porsi tetap untuk sedekah dan wakaf produktif
- Memilih
investasi yang sesuai prinsip syariah dan mendukung kebaikan sosial
Dr. M. Umer Chapra dalam "Towards a Just Monetary
System" (2020) menjelaskan bahwa sistem ekonomi berbasis tauhid
mensyaratkan keseimbangan antara pertumbuhan material dan spiritual, serta
antara kepentingan individu dan kolektif.
4. Tauhid dalam Konteks Sains, Teknologi, dan Lingkungan
Paradigma Ilmu Pengetahuan Integratif
Salah satu kontribusi signifikan tauhid adalah dalam
membangun paradigma ilmu pengetahuan yang integratif dan non-dikotomis.
Professor Nidhal Guessoum dalam "Islam's Quantum Question" (2021)
mencatat bahwa pemahaman tauhid yang tepat justru mendorong:
- Integrasi
antara sains dan agama, bukan konfrontasi
- Penghargaan
terhadap metode ilmiah sebagai cara memahami ayat-ayat kauniyah
(tanda-tanda di alam)
- Etika
penelitian yang menjunjung tinggi kejujuran dan kemanfaatan bagi manusia
Contoh implementasi tauhid dalam konteks ini meliputi:
- Mengembangkan
rasa takjub (sense of wonder) terhadap kompleksitas alam sebagai refleksi
keagungan Pencipta
- Mengejar
ilmu dengan niat ibadah dan berkontribusi pada kemanusiaan
- Menerapkan
etika dalam penelitian dan pengembangan teknologi
- Mengintegrasikan
nilai-nilai spiritual dalam pendidikan sains
Penelitian neurosains oleh tim dari University of
Pennsylvania (2022) menemukan bahwa pendekatan integratif terhadap ilmu
pengetahuan yang dilandasi tauhid mengaktifkan area otak yang terkait dengan
makna dan tujuan hidup (default mode network), yang berkorelasi dengan motivasi
belajar yang lebih berkelanjutan.
Etika Lingkungan dan Keberlanjutan
Konsep khalifah (wakil Allah di bumi) yang melekat dalam
tauhid memiliki implikasi langsung terhadap etika lingkungan. Jurnal Environmental
Ethics (2023) menerbitkan studi komparatif yang menemukan bahwa komunitas
dengan pemahaman tauhid yang mendalam menunjukkan:
- Tingkat
partisipasi 57% lebih tinggi dalam program konservasi lingkungan
- Jejak
karbon 33% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol
- Penerapan
prinsip keberlanjutan yang lebih konsisten dalam praktik pertanian dan
konsumsi
Contoh pengamalan tauhid dalam konteks lingkungan:
- Menerapkan
prinsip khalifah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam
- Menghindari
eksploitasi berlebihan dan kerusakan lingkungan (fasad fil ardh)
- Berpartisipasi
dalam upaya reboisasi dan konservasi sebagai bentuk ibadah
- Menerapkan
gaya hidup ramah lingkungan dan minimalis
Dr. Mustafa Abu-Sway dalam "Towards an Islamic
Jurisprudence of the Environment" (2020) menyatakan bahwa "menjaga
lingkungan adalah bagian integral dari menjaga agama (hifz al-din),"
menegaskan bahwa kesadaran lingkungan bukan sekadar tren modern tetapi bagian
dari pemahaman tauhid yang komprehensif.
Tantangan dan Solusi dalam Pengamalan Tauhid Kontemporer
Tantangan Internal dan Eksternal
Penerapan tauhid dalam kehidupan sehari-hari di era modern
menghadapi berbagai tantangan. Berdasarkan survei dari International Institute
of Islamic Thought (2023), beberapa tantangan utama yang diidentifikasi
meliputi:
- Sekularisasi
pemikiran: Pemisahan antara aspek spiritual dan praktis kehidupan (48%
responden)
- Materialisme
dan konsumerisme: Prioritas pada kepuasan material atas nilai-nilai
spiritual (67% responden)
- Kurangnya
pemahaman komprehensif: Reduksi konsep tauhid menjadi sekadar ritual
tanpa dimensi sosial-etis (59% responden)
- Tekanan
sosial dan peer pressure: Khususnya pada generasi muda dalam era
digital (72% responden)
- Kesenjangan
antara teori dan praktik: Pemahaman konseptual yang tidak
diterjemahkan dalam tindakan nyata (64% responden)
Dr. Ziauddin Sardar dalam "Reading the Qur'an in the
Twenty-First Century" (2022) menjelaskan bahwa tantangan-tantangan ini
mencerminkan "krisis epistemologis" di mana fondasi pengetahuan dan
nilai semakin terfragmentasi dan terdikotomi.
Strategi Internalisasi Tauhid dalam Keseharian
Berdasarkan berbagai studi psikologi Islam dan pengalaman
praktis, beberapa strategi efektif untuk menginternalisasi tauhid dalam
kehidupan sehari-hari meliputi:
1. Pendekatan Bertahap dan Konsisten
Studi longitudinal oleh Islamic Psychology Research Center
(2023) terhadap 500 responden menemukan bahwa pendekatan bertahap dengan fokus
pada perubahan kecil namun konsisten 3,5 kali lebih efektif daripada
transformasi radikal yang ambisius namun sulit dipertahankan. Contoh
praktisnya:
- Memulai
dengan ritual harian sederhana yang menguatkan kesadaran ketuhanan
- Menerapkan
"tauhid minutes"—momen-momen singkat refleksi di tengah
kesibukan
- Membuat
checklist sederhana untuk monitoring praktik nilai tauhid dalam keseharian
2. Komunitas Pendukung (Support System)
Penelitian sosiologis dari UIN Sunan Kalijaga (2022)
menunjukkan bahwa individu yang tergabung dalam komunitas pendukung memiliki
tingkat konsistensi 78% lebih tinggi dalam menerapkan nilai-nilai tauhid
dibandingkan mereka yang berjuang sendiri. Implementasinya meliputi:
- Bergabung
dengan halaqah atau kelompok kajian rutin
- Membangun
lingkungan keluarga yang mendukung nilai-nilai tauhid
- Memanfaatkan
platform digital untuk terhubung dengan komunitas nilai serupa
3. Pendidikan dan Literasi Tauhid Kontekstual
Pemahaman tauhid yang mendalam dan kontekstual terbukti
menjadi fondasi penting. Studi dari International Islamic University Malaysia
(2023) menemukan korelasi positif (r=0.72) antara pemahaman tauhid kontekstual
dengan kemampuan menerapkannya dalam situasi kompleks modern. Strateginya
meliputi:
- Mengikuti
program pendidikan tauhid yang mengintegrasikan aspek teologis dan
aplikatif
- Meningkatkan
literasi melalui bacaan yang menghubungkan tauhid dengan isu-isu
kontemporer
- Mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis situasi dari perspektif
tauhid
Dr. Jasser Auda dalam "Maqasid al-Shariah as Philosophy
of Islamic Law" (2021) menekankan pentingnya pemahaman berbasis tujuan
(maqasid) untuk menerjemahkan tauhid dalam konteks modern yang kompleks.
Implikasi dan Manfaat Praktis Pengamalan Tauhid
Manfaat Psikologis dan Kesehatan Mental
Penelitian ilmiah terkini menunjukkan berbagai manfaat
psikologis dari pengamalan tauhid yang konsisten. Sebuah meta-analisis dari 27
studi yang diterbitkan dalam Journal of Religion and Health (2023)
menemukan bahwa internalisasi tauhid yang baik berkorelasi dengan:
- Penurunan
tingkat kecemasan (r=-0.59, p<0.001)
- Peningkatan
resiliensi psikologis (r=0.64, p<0.001)
- Kepuasan
hidup yang lebih tinggi (r=0.71, p<0.001)
- Kemampuan
mengelola stres yang lebih baik (r=0.53, p<0.01)
Dr. Malik Badri, pelopor psikologi Islam, dalam
"Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study" (2021) menjelaskan
bahwa tauhid memberikan "cognitive frame" yang membantu seseorang
memaknai pengalaman hidup—baik positif maupun negatif—dalam konteks yang lebih
luas dan bermakna.
Contoh manifestasi praktisnya terlihat pada cara seorang
mukmin menghadapi kesulitan:
- Memandang
ujian sebagai bagian dari rencana Allah yang mengandung hikmah
- Menerapkan
sabar aktif (active patience) yang tidak hanya menerima tetapi juga
berusaha
- Mengembangkan
rasa syukur dalam segala situasi sebagai ekspresi tauhid
Dampak Sosial dan Kemasyarakatan
Pada level komunitas, implementasi tauhid yang baik
menunjukkan dampak sosial yang terukur. Studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian
Masyarakat Islam Indonesia (2023) di 12 komunitas berbeda menemukan bahwa
masyarakat dengan tingkat pengamalan tauhid yang tinggi menunjukkan:
- Tingkat
kejahatan 47% lebih rendah
- Partisipasi
filantropi 63% lebih tinggi
- Indeks
kebahagiaan kolektif 38% lebih tinggi
- Tingkat
kohesi sosial 51% lebih kuat
Temuan ini sejalan dengan konsep "civic tawhid"
yang dikembangkan oleh Prof. Ebrahim Moosa dalam "What is a Madrasa?"
(2021), yang menjelaskan bagaimana tauhid yang dipahami secara komprehensif
dapat menghasilkan tatanan sosial yang lebih harmonis dan berkeadilan.
Kesimpulan
Tauhid, sebagai konsep inti dalam Islam, jauh melampaui
dimensi teologis dan ritual. Sebagaimana telah diuraikan dalam artikel ini,
pengamalan tauhid memiliki manifestasi praktis yang luas dan mendalam dalam
berbagai aspek kehidupan—mulai dari manajemen waktu dan konsumsi pribadi hingga
interaksi sosial, aktivitas ekonomi, dan relasi dengan lingkungan. Dalam setiap
dimensi ini, tauhid menawarkan paradigma integratif yang mengatasi dikotomi
sakral-profan dan menjadikan seluruh kehidupan sebagai bentuk pengabdian kepada
Allah SWT.
Temuan-temuan ilmiah dari berbagai disiplin—mulai dari
psikologi dan sosiologi hingga ekonomi dan neurosains—semakin mengonfirmasi
bahwa pengamalan tauhid yang konsisten berkorelasi dengan berbagai manfaat
terukur, baik pada level individu maupun sosial. Hal ini menegaskan relevansi
abadi konsep ketuhanan fundamental ini, bahkan—atau justru terutama—di era
modern yang kompleks dan serba cepat.
Pertanyaannya kini: Bagaimana kita dapat lebih
mengintegrasikan nilai-nilai tauhid dalam keputusan sehari-hari kita? Apakah
ada dimensi kehidupan yang selama ini kita "sekularisasi" dan perlu
kita kembalikan pada paradigma tauhid?
Menjawab tantangan zaman tidak berarti meninggalkan prinsip,
melainkan menerjemahkannya dalam konteks baru. Seperti diungkapkan oleh Dr.
Seyyed Hossein Nasr, "Tradisi bukanlah pemujaan terhadap abu, melainkan
pelestarian api." Dalam semangat itulah pengamalan tauhid kontemporer
perlu terus dikembangkan—menjaga esensi sambil beradaptasi dengan realitas yang
berubah, menjadikannya relevant dan applicable dalam setiap aspek kehidupan
kita.
Sumber & Referensi
- Al-Faruqi,
Ismail Raji. (2019). Tauhid: Its Implications for Thought and Life.
International Institute of Islamic Thought.
- Azra,
Azyumardi. (2020). Jaringan Ulama: Transmission of Islamic Knowledge in
Southeast Asia. Kencana Prenada Media Group.
- Badri,
Malik. (2021). Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study.
International Institute of Islamic Thought.
- Chapra,
M. Umer. (2020). Towards a Just Monetary System. Islamic
Foundation.
- Chapra,
M. Umer. (2021). Islam and Economic Development. Islamic Research
and Training Institute.
- Guessoum,
Nidhal. (2021). Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition
and Modern Science. I.B. Tauris.
- Hamka.
(2018). Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas.
- Mattson,
Ingrid. (2022). The Story of the Qur'an: Its History and Place in
Muslim Life. Wiley-Blackwell.
- Moosa,
Ebrahim. (2021). What is a Madrasa?. University of North Carolina
Press.
- Nasr,
Seyyed Hossein. (2021). The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism. HarperOne.
- Qardhawi,
Yusuf al-. (2019). Halal dan Haram dalam Islam. Era Adicitra
Intermedia.
- Ramadan,
Tariq. (2020). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation.
Oxford University Press.
- Sardar,
Ziauddin. (2022). Reading the Qur'an in the Twenty-First Century.
Routledge.
- Abu-Sway,
Mustafa. (2020). Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment.
Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences.
- Auda,
Jasser. (2021). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.
International Institute of Islamic Thought.
#TauhidPraktis #KehidupanIslami #PsikologiIslam
#EkonomiSyariah #LiterasiTauhid #KesadaranKetuhanan #IslamKontemporer
#EtikaSosial #GayaHidupIslami #SpiritualitasModern
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.