Oleh: Atep Afia Hidayat
Ditulis ulang dan dikembangkan dari artikel : https://www.kangatepafia.com/2013/12/mengelola-sdm-belajar-dari-lapangan.html
Setiap manusia, tanpa terkecuali, adalah pemilik sumber daya manusia (SDM) yang unik—seperangkat kapasitas, potensi, dan energi batiniah yang membentuk keunggulan dirinya.
Namun, sebagaimana “raksasa tidur” dalam kepala yang diibaratkan oleh Thomas Edison dan kemudian populer dalam teori latent potential, potensi itu sering kali belum teraktivasi. Banyak individu yang hidup dengan hanya memanfaatkan sebagian kecil dari kemampuan otaknya, emosinya, dan jiwanya. Dengan kata lain, sumber daya manusia yang dimiliki sering kali masih bersifat dorman, belum dioptimalkan.1. SDM sebagai Sistem Terpadu
Sumber daya manusia sejatinya adalah sistem kompleks yang
mencakup dimensi fisik, mental, emosional, intelektual, spiritual, dan sosial.
Setiap sel tubuh adalah sumber daya biologis yang menopang energi
produktivitas. Sementara itu, pikiran dan emosi adalah “mesin penggerak” yang
menentukan arah dan kualitas tindakan.
Penelitian oleh Gallup (2023) menunjukkan bahwa hanya
sekitar 23% karyawan di dunia yang benar-benar “terlibat secara aktif” (actively
engaged) dalam pekerjaannya. Artinya, mayoritas manusia masih berada dalam
kondisi pasif, belum sepenuhnya menggunakan potensi terbaiknya. Fenomena ini
menunjukkan urgensi manajemen SDM yang tidak hanya berfokus pada keterampilan
teknis, tetapi juga aktivasi psikologis dan emosional individu.
2. Belajar dari Lapangan Hijau
Lapangan sepak bola memberikan metafora yang sangat kaya
bagi pengelolaan SDM. Dalam satu tim, terdapat sebelas pemain—sebelas unit
sumber daya manusia yang berbeda karakter, peran, dan gaya bermainnya.
Masing-masing memiliki keunggulan: ada yang ahli dalam menyerang, ada yang
tangguh bertahan, dan ada pula yang jeli membaca peluang.
Untuk mencetak goal, tim harus bekerja secara
sinergis, menggabungkan taktik, strategi, komunikasi, dan koordinasi. Analogi
ini sejalan dengan konsep team effectiveness model dari Katzenbach &
Smith (2020), yang menyatakan bahwa kinerja optimal tim bergantung pada
keselarasan tujuan, kejelasan peran, dan kualitas komunikasi antaranggota.
Permainan di lapangan hijau juga mencerminkan prinsip Human
Capital Optimization (Ulrich, 2022)—bahwa efektivitas SDM bukan semata
ditentukan oleh kemampuan individu, tetapi oleh bagaimana potensi kolektif
dikelola dan diarahkan menuju tujuan bersama.
3. Aktivasi SDM melalui Peran dan Sinergi
Dalam organisasi, setiap individu memiliki posisi layaknya
pemain di lapangan: ada yang berperan sebagai penyerang (inovator), ada yang
bertahan (pengendali risiko), dan ada yang menjadi gelandang (penghubung dan
koordinator).
Kinerja kolektif bergantung pada sejauh mana setiap individu mampu menjalankan
perannya secara optimal dan saling melengkapi.
Konsep ini didukung oleh teori “Complementary Fit”
dalam manajemen SDM (Kristof-Brown et al., 2022) yang menekankan pentingnya
keseimbangan antara karakteristik individu dan kebutuhan tim. Dengan sinergi
yang baik, perbedaan potensi justru menjadi kekuatan, bukan sumber konflik.
4. Peran Pemimpin sebagai Pelatih Tim
Setiap tim, baik di dunia olahraga maupun di dunia kerja,
membutuhkan figur pemimpin yang mampu meramu strategi dan mengelola dinamika
antaranggota. Seorang pemimpin yang efektif tidak hanya mengatur arah
permainan, tetapi juga menginspirasi, membangun moral, dan memastikan seluruh
anggota tetap fokus pada tujuan bersama.
Menurut studi Harvard Business Review (2024), kepemimpinan
transformasional terbukti meningkatkan kinerja tim hingga 35% lebih tinggi
dibanding gaya kepemimpinan transaksional. Pemimpin seperti ini berperan
layaknya pelatih sepak bola yang tidak hanya memberikan instruksi teknis,
tetapi juga menumbuhkan semangat, rasa percaya diri, dan nilai kebersamaan
dalam tim.
5. Filosofi dari Lapangan ke Kehidupan
Apa yang terjadi di lapangan sepak bola sejatinya merupakan
cermin kehidupan sosial dan organisasi manusia. Dalam rumah tangga, masyarakat,
dan dunia kerja, setiap individu juga berada dalam “tim besar” yang menuntut
kolaborasi, adaptasi, dan kesadaran peran.
Ketika setiap anggota keluarga, warga masyarakat, atau
karyawan memahami tanggung jawabnya dan mengoptimalkan potensinya, maka sinergi
sosial akan terbentuk. Goal dalam konteks ini bukan sekadar kemenangan
kompetitif, tetapi kinerja kolektif yang menghasilkan kesejahteraan
bersama.
6. Penutup
Belajar dari lapangan hijau mengajarkan bahwa keberhasilan
bukan hanya ditentukan oleh bakat individu, tetapi oleh bagaimana potensi itu dikelola,
disinergikan, dan diarahkan menuju visi bersama. Dalam konteks manajemen
SDM modern, tantangan terbesar bukanlah kekurangan sumber daya manusia,
melainkan kurangnya aktivasi dan integrasi potensi manusia itu sendiri.
Dengan pendekatan yang lebih humanistik dan kolaboratif,
pengelolaan SDM dapat bertransformasi dari sekadar mengatur tenaga kerja
menjadi menghidupkan manusia sebagai sumber daya strategis. Dari
lapangan hijau, kita belajar: kemenangan sejati hanya mungkin terjadi ketika
setiap pemain sadar perannya, setiap individu bekerja sepenuh hati, dan setiap
potensi manusia benar-benar terbangun dari tidurnya.
Referensi
- Gallup.
(2023). State of the Global Workplace Report.
- Harvard
Business Review. (2024). Leadership in the Age of Collaboration.
- Katzenbach,
J. R., & Smith, D. K. (2020). The Wisdom of Teams: Creating the
High-Performance Organization. Harvard Business School Press.
- Kristof-Brown,
A. L., et al. (2022). Person–Environment Fit Theory: Applications in
Organizational Behavior. Annual Review of Organizational Psychology.
- Ulrich,
D. (2022). Human Capability: Activating Human Capital for Performance
and Growth. McGraw-Hill Education.

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.