Apr 21, 2013

Pendidikan Salah Sambung

Oleh : Atep Afia Hidayat - Melalui rubrik ini marilah kita terbuka, blak-blakan, jujur dan obyektif, misalnya dalam mengangkat fenomena dunia pendidikan di tanah air. Tampaknya dari tahun ke tahun selalu diwarnai informasi miring ke kiri, mulai dari isu biaya yang mahal dan tidak terjangkau, masalah Ujian Nasional yang penuh sandiwara, joki dalam proses penerimaan mahasiswa di PTN, sampai kualitas lulusan yang kondisinya sangat memprihatinkan. 

Lantas, bagaimana kita menyikapi secara cerdas terhadap persoalan tersebut. Apakah hanya berpangku tangan, tak sedikit pun merespons, tak ubahnya dilanda frigiditas sosial, atau meresponsnya secara reaktif.

Benang kusut sistem pendidikan nasional kalau diurai bermuara pada kekurang-mampuan otoritas bidang pendidikan, dalam hal ini pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional beserta jalur vertikalnya ke bawah. Padahal kalau kita perhatikan Depdiknas dihuni oleh banyak orang pintar, ada ratusan profesor dan doktor. Jadi kemana saja mereka selama ini ? Konsepnya jelas cap jempol, mungkin setara dengan konsep di Jerman, Amrik atau Singapura. Tapi kondisi di lapangan bicara lain, banyak carut marut.

Ada beberapa kejanggalan dalam dunia pendidikan di negeri tercinta ini. Sebagai contoh, menjamurnya bimbingan belajar (Bimbel) merupakan indikasi buruknya proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Sebenarnya kalau cara belajar-mengajar di sekolah cukup baik, Bimbel tidak diperlukan. Anehnya lagi banyak sekolah yang minta bantuan Bimbel untuk meningkatkan prestasi siswanya.

Nah lho ? Jadi para guru yang terhormat itu, selama ini ngajar apa saja, kok masih perlu dukungan Bimbel. Logikanya kalau sistem pembelajaran cukup baik, Bimbel semuanya bakal bangkrut. Ya, karena dari sekolah saja siswa sudah mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup. Itu kondisi di sekolah menengah.

Kondisi di perguruan tinggi pun sebelas dua belas, artinya tidak jauh berbeda. Walaupun setiap perguruan tinggi sudah terbagi menjadi fakultas, dan setiap fakultas terbagi menjadi program studi. Tetapi dalam proses pembelajaran belum begitu fokus, sehingga lulusannya mengetahui banyak hal, tetapi tidak mendalami satu bidang. Dulu almarhum ST Alisyahbana pernah menyindir secara tepat, kok sarjana tidak bisa nanam kangkung. Kalau digeneralisir banyak juga sarjana lain yang tidak memiliki kemampuan dibidangnya. Inilah pendidikan salah sambung.

Kondisi pendidikan di Indonesia selain salah sambung juga semakin mahal. Di sebuah TK tertentu menarik biaya Rp. 15 juta dari orang tua calon siswanya. Begitu pula ada satu program studi di PTN yang menarik biaya sekitar Rp. 150 juta. Nah, lho orang nggak mampu gimmana. Masuk sekolah gratis ? Apa ada? Dalam pidatonya para walikota atau bupati memang sering menggembar-gemborkan sekolah gratis, tapi kenyataannya banyak uang itu, uang ini atau uang nganu. Jadi gimmana nih ??? Teuing atuh. (Atep Afia)

6 comments:

  1. Pendidikan di Indonesia hanya mengajarkan muridnya untuk menjawab soal. bukan mengajarkan muridnya untuk belajar menganalisa soal. hasilnya ya seperti ini. banyak lulusan yang masih bingung mau apa setelah lulus, kerja apa juga bingung, mau meneruskan pendidikan juga bingung mau ambil jurusan apa. belum lagi biaya pendidikan yang mahal. jadi semakin tak karuan lagi pendidikan di Indonesia. bagaimana bisa menghasilkan generasi yang berkualitas kalau caranya seperti ini. hendaknya pemerintah menanggapi serius hal ini, dan segera memperbaiki kurikulum dan mengatur biaya pendidikan agar terjangkau untuk kalangan bawah.

    ReplyDelete
  2. Memang Lucu ya pak - selalu ada steatmen sekolah gratis tetapi kenyataan yang ada dilapangan selalu ada pembayaran ini itu dan lain sebagainya ,
    Mengambil juruan yang seharusnya bisa kita kuasai ilmunya mala melakukan prakteknya pun kita belum bisa, mungkin itu pengaruh besar dari kurangnya praktek saat proses ajar mengajar- dan mengakibatkan salah sambung karna mengambil jurusan yang harusnya kita kuasai mala tidak bisa melakukan praktek di lapangannya

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. ya beginilah pak kondisi pendidikan yang ada di Negara kita tercinta,terlalu banyak embel-embel yang tidak jelas.ngaku nya sekolah yang berkualitas akan tetapi masih saja butuh pengajar dari luar sekolah seperti Les privat/Bimbel.lalu dimnanakah yang benar benar memprioritaskan proses belajar mengajar yang sesungguhnya ?
    apakah ada di Negara kita ?
    seiring berkembangnya zaman akan sedih rasanya bila sekolah-sekolah di indonesia tidak meningkatkan proses belajar mengajar dalam mendidik murid murid nya.

    ReplyDelete
  5. @c31-catur
    TC05

    masalah pendidikan selalu menjadi perdebatan di kalangan orang pintar disamping ekonomi dan kesehatan
    dengan segala upaya yang akan dan mungkin akan terus menjadi wacana sekolah gratis biaya pendidikan murah dan embel-embel lainnya, alangkah baiknya kita sebagai manusia yang terus akan belajar bisa membimbing diri kita dengan baik, dengan kata lain pendidikan tergantung kepada siapa yang mendidik dan di didik

    ReplyDelete
  6. Agus Rahman Saleh @Agus-E28 @Tugas B05 fakta nya itu lah yang terjadi di dunia pendidikan kita sekarang, saya sangat setuju mengenai pendapat yang mengatakan bahwa munculnya bimbel bimbel mengindikasikan bahwa kualitas pembelajaran disekolah tidak optimal. Karena pada dasarnya toh tang dipelajari di bimbel juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dipelajari di sekolah, malah cendrung mengulang. Dan dewasa ini, sering alih fungsi bimbel malah disalah gunakan oleh murid murid yang tidak bertanggung jawab. Contoh nya mereka menyuruh guru bimbel atau guru privat mereka untuk mengerjakan tugas dan PR dari guru mereka disekolah. Oleh karena itu harus adanya optimlisasi pengajaran guru disekolah baik dari segi kuantitas materi maupun cara penyampaian guru tersebut, karena tak bisa dipungkiri bahwa cara penyampaian guru dikelas mempengaruhi masuk atau tidak nya materi yang disampaikan

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.