Apr 23, 2013

Fenomena Rangkap Jabatan


Oleh : Atep Afia Hidayat - Sebuah partai politik yang masih eksis menggelar kongres luar biasa beberapa hari yang lalu di Bali. Hasilnya mudah ditebak, terbentuk kepengurusan Parpol yang merangkap jabatan dengan tugas kenegaraan. Tidak tanggung-tanggung ada yang merangkap jabatan presiden dan menteri. Bukan fenomena baru dan sama sekali tidak menarik, namun betapa mengenaskan. Apa sulitnya mencari figur atau tokoh tertentu untuk ditempatkan dalam kepengurusan Parpol.

Kegagalan kaderisasi, itulah pangkal persoalan kenapa performa dan kinerja Parpol seperti jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang. Semestinya setiap Parpol memiliki pola kaderisasi yang matang dan mumpuni, sehingga ketika kader senior beralih status dari politisi menjadi negarawan, maka kader yang lebih muda sudah siap melanjutkan estafet kepemimpinan Parpol. 

Dari sekian banyak Parpol bisa dihitung dengan satu-dua jari yang memiliki pola kaderisasi yang matang. Dengan demikian, jika ada kasus sang Ketua Parpol berhalangan dengan sesuatu sebab, maka kader peringkat berikutnya telah siap untuk menggantikannya. Dalam hal ini ada pergantian ketua Parpol yang bersifat demokratis, aklamasi, ada juga yang mengacu pada keinginan atau wangsit “Eyang Parpol”. Itulah keunikan perparpolan di Indonesia, biasanya setiap Parpol memiliki figur tertentu yang amat disegani, sehingga setiap perkataannya selalu diikuti seluruh kader.

Rangkap jabatan memang tidak melanggat aturan apapun, namun dari segi kepatutan dan kelayakan sungguh tidak patut dan tidak layak. Untuk keberhasilan suatu organisasi, apalagi setingkat Negara dibutuhkan focus sefokus-fokusnya dari sang pengelola negara. Ketika seorang politisi ber-metamorfosa menjadi seorang negarawan, maka dipundaknya disandang kewajiban terhadap bangsa dan Negara, lupakan kepentingan Parpol yang hanya mengadopsi kepentingan sebagian kecil komponen bangsa.

Presiden RI itu berkewajiban mensejahterakan 240 juta rakyat yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, bukan sekedar mengurusi sebuah Parpol yang hanya diikuti oleh jutaan atau puluhan juta pendukungnya. Begitu pula untuk politisi yang beralih status menjadi menteri yang bertanggung-jawab terhadap pengelolaan sebuah kementerian. Selayaknya berhentilah menjadi ketua atau pengurus Parpol, karena bagaimanapun jabatan menteri jauh lebih penting dan bergengsi.

Sudahlah yang lalu biar berlalu, namun ke depan fenomena rangkap jabatan peluangnya perlu dipersempit. Diperlukan aturan perundang-undangan bahwa presiden, wakil presiden, menteri, dan pejabat Negara lainnya sebisa mungkin tidak merangkap jabatan. Hal itu dengan maksud supaya lebih serius dan fokus dalam mengurusi negara; Memberikan peluang dan kesempatan kepada orang lain untuk menjadi pejabat (Parpol misalnya); dan untuk memisahkan kepentingan negara dan bukan urusan negara.

Secara logika politik sederhana mengurusi kepentingan bangsa dan Negara adalah jauh lebih penting daripada mengurusi kepentingan Parpol. Nah, seandainya rakyat sudah memberikan amanah untuk mengelola Negara, dahulukan kepentingan yang lebih besar. Apalagi memperhatikan kondisi negara kita yang posisinya belum berada “di atas angin”, sangat memerlukan pemerintahan yang kredibel dan professional.

Ada banyak urusan penting yang harus dituntaskan pengelola negara, mulai dari urusan besar seperti kedaulatan wilayah negara di perbatasan, penyelesaian riak-riak disintegrasi negara di beberapa daerah, persoalan ketenagekerjaan di beberapa Negara; Urusan seperti harga bbm, tarif listrik, banjir, kemacetan lalulintas, sampai harga bawang, cabai dan daging sapi yang irasional. Ada lebih dari 1001 urusan berbangsa dan bernegara yang perlu penanganan khusus, oleh sebab itu supaya lebih serius jika telah bersedia diberi amanah untuk mengelola bangsa dan negara. (Atep Afia)     

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.