Jun 10, 2013

Meninjau Ulang Esensi Pilkada

Oleh : Atep Afia Hidayat - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik untuk memilih walikota, bupati atau gubernur sudah berlangsung sejak tahun 2005. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)  tercatat sebagai daerah pertama penyelenggara Pilkada.

Payung hukum Pilkada ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini peserta Pilkada adalah pasangan calon (kepala dan wakil kepala daerah) yang diusulkan oleh partai politik (Parpol) atau gabungan Parpol. Dalam perkembangannya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008,  peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang (calon independen).

Pilkada menimbulkan hingar bingar silih berganti di 34 provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota di Indonesia. Sebagian besar Pilkada memang berlangsung secara tertib tanpa menimbulkan kegaduhan politik, sosial dan keamanan. Namun tak jarang Pilkada menimbulkan keributan, gugatan, bahkan konflik yang berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lainnya tidak semua keputusan MK bisa dipatuhi secara baik, bahkan ada yang disikapi dengan kerusuhan termasuk aksi pembakaran.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang mengutip data dari Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) dalam Kompas, 10 Juni 2013, bahwa mulai tahun 2005 sampai awal Juni 2013, terdapat 25 kasus kerusuhan terkait Pilkada yang tersebar di 10 provinsi, 10 kerusuhan terjadi di Provinsi Nusatenggara Barat. Sementara jumlah korban tewas mencapai 59 orang, 35 orang di antaranya di Propinsi Papua. Kekacauan Pilkada juga menyebabkan kerusakab pada rumah tinggal, kantor Pemda, kantor Parpol, kantor KPU, pertokoan dan berbagai bangunan lainnya.

Pilkada merupakan kegiatan dengan mengerahkan energi  masyarakat dengan biaya yang sangat tinggi, terutama menyangkut biaya kampanye calon yang akan dipilih. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (dalam Kompas.com, 4 Juni 2013), setuju dengan pembatasan dana kampanye. Menurutnya biaya kampanye pemilihan gubernur (Pilgub) tidak sampai Rp 100 miliar, dan pemilihan bupati (Pilbup) tidak sampai Rp 30 miliar.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas Pilkada, Komisi II DPR, awal juni 2013 ini membahas  materi Pemilu serentak dalam RUU Pilkada. Menurut Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa (dalam Rakyat Merdeka Online, 22 Mei 2013), terdapat tiga opsi Pilkada serentak. Pertama, Pilkada digelar secara per regional, yaitu setiap provinsi melakukan Pilkada serentak bersamaan dengan Pilkada Kabupaten dan Kota; Kedua, tidak per hirarki pemerintahan, yaitu provinsi, kabupaten dan kota serentak melakukan Pilkada; dan Ketiga, per hirarki pemerintahan di mana pilkada gubernur dan bupati/walikota dilakukan serentak.

Opsi pertama artinya serentak untuk setiap regional (34 provinsi), sehingga frekuensi Pilkada serentak menjadi  5 tahun (masa jabatan gubernur dan walikota) dibagi 34 daerah, atau setiap 1,76 bulan sekali atau sekitar 53 hari sekali. Opsi kedua seluruh daerah serentak melakukan Pilkada, jadi pada satu hari yang ditentukan rakyat di 34 provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota serentak memilih kepala daerahnya. Opsi ketiga berdasarkan hirarki artinya, pemilihan 34 gubernur serentak dalam satu hari, dan pemilihan 409 bupati dan 93 walikota serentak pada hari lainnya.

Bisa dikatakan tingginya biaya kampanye Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot menyebabkan banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Sampai saat ini tercatat 295 kepala daerah tersangkut korupsi. Kalau jumlah seluruh daerah di Indonesia ada 536 (34 provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota), berarti jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi mencapai 55 persen. Sebuah pencapaian yang luar biasa, menunjukkan betapa buruknya sistem pengelolaan daerah di negara kita. Sebagai dampaknya sudah tentu makin banyak daerah yang mengalami carut-marut  bahkan babak-belur, karena tidak diurusi dengan baik.

Lantas, dengan ongkos politik, sosial, ekonomi dan keamanan yang sangat tinggi, apakah Pilkada layak dipertahankan ? Atau bisa saja kembali pada model pemilihan kepala daerah sebelum tahun 2005, yaitu dipilih oleh DPRD. Perlu dihitung ulang secara cermat apakah hasil dan pelaksanaan Pilkada seperti saat ini lebih banyak manfaat atau madlaratnya ? (Atep Afia)



2 comments:

  1. Mochamad Alvin
    @A21-Alvin

    Menurut saya, meninjau terdapat tiga opsi Pilkada serentak. Pertama, Pilkada digelar secara per regional, yaitu setiap provinsi melakukan Pilkada serentak bersamaan dengan Pilkada Kabupaten dan Kota; Kedua, tidak per hirarki pemerintahan, yaitu provinsi, kabupaten dan kota serentak melakukan Pilkada; dan Ketiga, per hirarki pemerintahan di mana pilkada gubernur dan bupati/walikota dilakukan serentak.

    ReplyDelete
  2. @D18-Yulus, Tugas A05

    Pilkada memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, harus di kaji ulang, bagaimana sebaiknya dan se efisien apa pilkada dapat dilakukan.
    semoga nantinya bisa lebih baik lagi tata cara dan prosesnya.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.