May 18, 2025

Mengapa Kita Membeli? Mengupas Konsep Konsumsi dalam Kehidupan Sehari-hari


Pendahuluan

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Anda membeli secangkir kopi di kafe favorit setiap pagi, meskipun Anda bisa membuatnya sendiri di rumah? Atau mengapa Anda tergoda untuk membeli ponsel baru saat gaji baru masuk, padahal ponsel lama masih berfungsi? Konsumsi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Setiap hari, kita membuat keputusan untuk membeli barang atau jasa—mulai dari kebutuhan pokok seperti makanan hingga barang mewah seperti liburan ke destinasi impian. Tapi, apa sebenarnya yang mendorong kita untuk mengonsumsi? Dan bagaimana keputusan konsumsi kita memengaruhi tidak hanya dompet pribadi, tetapi juga perekonomian secara keseluruhan?

Konsumsi bukan sekadar aktivitas membeli. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah mesin penggerak perekonomian, menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) di banyak negara, termasuk Indonesia (BPS, 2024). Dari keputusan sederhana seperti membeli roti hingga investasi besar seperti membeli rumah, konsumsi mencerminkan perilaku manusia yang kompleks, dipengaruhi oleh pendapatan, budaya, teknologi, dan bahkan psikologi. Artikel ini akan mengupas konsep konsumsi secara menyeluruh, dengan bahasa sederhana namun berbasis data, untuk membantu Anda memahami mengapa kita mengonsumsi dan bagaimana keputusan ini membentuk dunia di sekitar kita.

Pembahasan Utama

Apa Itu Konsumsi?

Secara sederhana, konsumsi adalah aktivitas menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Dalam ekonomi makro, konsumsi diukur sebagai total pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa dalam suatu periode. Misalnya, ketika Anda membeli sepatu baru, membayar langganan streaming, atau makan di restoran, Anda sedang berkontribusi pada konsumsi agregat perekonomian.

Menurut modul Pengantar Ekonomi (2025), konsumsi dapat dibagi menjadi tiga jenis:

  1. Barang Tidak Tahan Lama (non-durable goods): Barang yang habis dalam sekali pakai atau memiliki umur pendek, seperti makanan, minuman, atau bahan bakar. Contoh: Anda membeli sebotol susu yang habis dalam beberapa hari.
  2. Barang Tahan Lama (durable goods): Barang yang bisa digunakan berulang kali, seperti mobil, televisi, atau furnitur. Contoh: Membeli lemari es yang bisa dipakai selama bertahun-tahun.
  3. Jasa (services): Aktivitas tak berwujud seperti jasa dokter, pendidikan, atau transportasi. Contoh: Membayar tiket kereta untuk perjalanan akhir pekan.

Bayangkan konsumsi seperti bahan bakar dalam mesin mobil. Tanpa konsumsi, perekonomian akan berhenti bergerak. Namun, apa yang membuat kita memilih untuk mengonsumsi satu barang dibandingkan yang lain? Jawabannya ada pada teori perilaku konsumen.

Mengapa Kita Memilih? Dua Pendekatan dalam Teori Perilaku Konsumen

Ekonom telah lama mempelajari bagaimana manusia membuat keputusan konsumsi. Ada dua pendekatan utama yang menjelaskan perilaku konsumen: pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal.

Pendekatan Kardinal: Mengukur Kepuasan

Pendekatan kardinal, yang dikembangkan oleh tokoh seperti Alfred Marshall, menganggap kepuasan (atau utility) bisa diukur secara numerik, seperti menghitung kalori dalam makanan. Misalnya, Anda mungkin merasa mendapatkan "10 unit kepuasan" dari makan sepotong cokelat dan "5 unit" dari minum segelas air.

Konsep kunci dalam pendekatan ini adalah Hukum Utilitas Marjinal yang Semakin Menurun. Bayangkan Anda sedang makan pizza. Sepotong pertama terasa luar biasa karena Anda lapar. Sepotong kedua masih enak, tapi kepuasannya sedikit berkurang. Pada sepotong kelima, Anda mungkin sudah kenyang dan tidak lagi menikmatinya. Hukum ini menyatakan bahwa semakin banyak Anda mengonsumsi sesuatu, semakin kecil kepuasan tambahan yang Anda dapatkan dari setiap unit tambahan.

Secara matematis, konsumen mencapai keseimbangan ketika mereka mengalokasikan uang mereka sehingga utilitas marjinal per rupiah yang dihabiskan sama untuk semua barang. Misalnya, jika Anda membeli apel (Rp2.000, utilitas marjinal 10) dan jeruk (Rp4.000, utilitas marjinal 20), rasio utilitas marjinal terhadap harga harus sama:
10/2000 = 20/4000 = 0,005. Jika tidak, Anda akan mengalihkan pengeluaran untuk memaksimalkan kepuasan.

Pendekatan Ordinal: Membandingkan Pilihan

Pendekatan ordinal, yang dipopulerkan oleh John Hicks dan Vilfredo Pareto, tidak mencoba mengukur kepuasan secara numerik. Sebaliknya, pendekatan ini berfokus pada preferensi konsumen—apa yang mereka sukai lebih banyak dibandingkan yang lain. Bayangkan Anda dihadapkan pada dua pilihan: makan malam di restoran mewah atau piknik di taman. Anda mungkin tidak bisa mengatakan berapa "unit kepuasan" yang Anda dapatkan, tapi Anda bisa memilih mana yang lebih Anda inginkan.

Alat utama dalam pendekatan ordinal adalah kurva indiferensi dan garis anggaran:

  • Kurva Indiferensi: Menunjukkan kombinasi dua barang (misalnya, kopi dan kue) yang memberikan kepuasan sama. Semakin jauh kurva dari titik asal, semakin tinggi kepuasannya.
  • Garis Anggaran: Menunjukkan apa yang mampu Anda beli dengan pendapatan tertentu. Misalnya, dengan Rp50.000, Anda bisa membeli 5 kopi (Rp10.000 per gelas) atau 10 kue (Rp5.000 per buah), atau kombinasi di antaranya.

Keseimbangan terjadi ketika kurva indiferensi tertinggi bersinggungan dengan garis anggaran. Pada titik ini, Anda memaksimalkan kepuasan dengan anggaran yang ada. Misalnya, Anda mungkin memilih 3 kopi dan 4 kue karena kombinasi itu memberi kepuasan maksimal dengan Rp50.000.

Pendekatan ordinal lebih realistis di era modern karena kita sering membuat keputusan berdasarkan perbandingan, bukan angka pasti. Saat memilih antara Netflix atau Disney+, Anda mungkin tidak menghitung "utilitas," tapi Anda tahu mana yang lebih sesuai dengan selera Anda.

Fungsi Konsumsi: Hubungan Pendapatan dan Pengeluaran

John Maynard Keynes, salah satu ekonom terbesar abad ke-20, memperkenalkan konsep fungsi konsumsi, yang menunjukkan hubungan antara pendapatan dan konsumsi. Persamaannya sederhana:
C = a + bY
Di mana:

  • C: Konsumsi
  • a: Konsumsi otonom (pengeluaran minimum meskipun pendapatan nol, seperti untuk kebutuhan dasar)
  • b: Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu persentase pendapatan tambahan yang digunakan untuk konsumsi
  • Y: Pendapatan disposabel (pendapatan setelah pajak)

Misalnya, jika fungsi konsumsi adalah C = 100 + 0,8Y, dan pendapatan Anda Rp1.000.000, maka konsumsi Anda adalah:
C = 100 + 0,8(1.000.000) = 100 + 800.000 = 900.000.
Ini berarti Anda menghabiskan Rp900.000 untuk konsumsi, dan sisanya (Rp100.000) mungkin ditabung.

MPC adalah konsep kunci di sini. Jika MPC = 0,8, artinya 80% dari pendapatan tambahan digunakan untuk konsumsi. MPC penting karena memengaruhi efek pengganda (multiplier effect) dalam perekonomian. Misalnya, jika pemerintah memberikan stimulus Rp1 triliun, dan MPC = 0,8, maka total dampak pada perekonomian adalah:
Multiplier = 1 / (1 - MPC) = 1 / (1 - 0,8) = 5.
Jadi, Rp1 triliun stimulus bisa menghasilkan Rp5 triliun aktivitas ekonomi karena uang terus berputar melalui konsumsi.

Apa yang Mempengaruhi Konsumsi?

Konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan. Modul Pengantar Ekonomi (2025) menyebutkan beberapa faktor utama:

Faktor Ekonomi

  1. Pendapatan: Faktor terbesar. Semakin tinggi pendapatan, semakin banyak yang dihabiskan untuk konsumsi. Namun, menurut Keynes, proporsi pendapatan yang dikonsumsi menurun saat pendapatan meningkat.
  2. Kekayaan: Jika Anda memiliki tabungan atau aset (misalnya, rumah atau saham), Anda mungkin lebih berani berbelanja meskipun pendapatan bulanan tetap.
  3. Tingkat Bunga: Bunga tinggi mendorong menabung dan mengurangi konsumsi, sementara bunga rendah mendorong pinjaman dan belanja.
  4. Ekspektasi: Jika Anda yakin ekonomi akan membaik, Anda mungkin lebih banyak berbelanja sekarang. Sebaliknya, ketakutan akan resesi bisa membuat Anda menahan diri.
  5. Kebijakan Fiskal: Pajak yang lebih rendah meningkatkan pendapatan disposabel, sehingga mendorong konsumsi. Contohnya, insentif pajak selama pandemi COVID-19 di Indonesia meningkatkan belanja rumah tangga (BPS, 2021).

Faktor Demografis dan Sosial

  1. Usia: Orang muda cenderung menghabiskan lebih banyak untuk hiburan, sementara orang tua fokus pada kesehatan (Life-Cycle Hypothesis).
  2. Pendidikan: Orang dengan pendidikan tinggi sering kali memiliki preferensi konsumsi yang berbeda, seperti berinvestasi pada pendidikan anak.
  3. Budaya: Di Indonesia, budaya "mudik" saat Lebaran mendorong konsumsi tiket transportasi dan pakaian baru.
  4. Lokasi: Penduduk kota lebih banyak menghabiskan untuk jasa (misalnya, ojek online) dibandingkan penduduk desa.

Faktor Psikologis

  1. Preferensi: Anda mungkin lebih suka kopi lokal daripada merek internasional karena selera pribadi.
  2. Persepsi: Iklan yang meyakinkan bisa membuat Anda merasa perlu membeli produk tertentu.
  3. Motivasi: Keinginan untuk "menjaga gengsi" bisa mendorong pembelian barang mewah (Relative Income Hypothesis).

Perspektif Lain tentang Konsumsi

Selain teori Keynesian, ada beberapa teori lain yang menjelaskan perilaku konsumsi:

  1. Life-Cycle Hypothesis (Franco Modigliani): Orang merencanakan konsumsi berdasarkan siklus hidup. Saat muda, mereka meminjam; saat bekerja, mereka menabung; saat pensiun, mereka menggunakan tabungan.
  2. Permanent Income Hypothesis (Milton Friedman): Konsumsi lebih dipengaruhi oleh pendapatan jangka panjang (permanen) daripada pendapatan sementara (misalnya, bonus).
  3. Relative Income Hypothesis (James Duesenberry): Kita mengonsumsi untuk menjaga status sosial, membandingkan diri dengan tetangga atau teman.
  4. Behavioral Economics: Konsumen tidak selalu rasional. Misalnya, Anda mungkin membeli barang diskon meskipun tidak membutuhkannya karena "takut rugi" (loss aversion).

Studi Kasus: Konsumsi di Indonesia Saat Pandemi

Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran nyata tentang bagaimana faktor eksternal mengubah konsumsi. Menurut modul Pengantar Ekonomi (2025), beberapa perubahan di Indonesia antara lain:

  • Belanja Online Meningkat: Platform seperti Tokopedia dan Shopee mencatat lonjakan transaksi hingga 30% pada 2020 (Kompas, 2020).
  • Prioritas Berubah: Pengeluaran untuk kesehatan (masker, hand sanitizer) dan kebutuhan pokok melonjak, sementara belanja untuk liburan dan barang mewah turun drastis.
  • Penurunan Konsumsi Agregat: Banyak rumah tangga kehilangan pendapatan, menyebabkan konsumsi nasional turun 2,63% pada 2020 (BPS, 2021).

Perubahan ini menunjukkan bahwa konsumsi sangat sensitif terhadap pendapatan, ekspektasi, dan kondisi eksternal. Ketika orang merasa tidak aman, mereka cenderung menabung lebih banyak dan mengurangi pengeluaran.

Implikasi & Solusi

Dampak Konsumsi pada Perekonomian

Konsumsi adalah tulang punggung perekonomian. Ketika konsumsi tinggi, bisnis berkembang, lapangan kerja bertambah, dan PDB meningkat. Namun, konsumsi yang berlebihan, terutama melalui utang, bisa memicu masalah seperti inflasi atau krisis keuangan. Sebaliknya, konsumsi yang terlalu rendah bisa menyebabkan resesi, seperti yang terjadi di banyak negara selama pandemi.

Di Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 56% dari PDB pada 2024 (BPS, 2024). Ketika konsumsi menurun, seperti selama pandemi, dampaknya terasa pada sektor ritel, pariwisata, dan UMKM. Sebaliknya, lonjakan konsumsi saat Lebaran atau akhir tahun sering kali menjadi penyelamat ekonomi.

Solusi untuk Mengelola Konsumsi

  1. Pendidikan Keuangan: Masyarakat perlu dilatih untuk mengelola pendapatan dan konsumsi secara bijak. Misalnya, memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan dapat mencegah pembelian impulsif.
  2. Kebijakan Pemerintah: Pemerintah bisa mendorong konsumsi melalui kebijakan fiskal, seperti menurunkan pajak penghasilan atau memberikan bansos. Contohnya, program Kartu Prakerja berhasil meningkatkan konsumsi rumah tangga miskin selama pandemi (Kemenkeu, 2021).
  3. Inovasi Teknologi: Platform e-commerce dan fintech (seperti OVO atau GoPay) mempermudah konsumsi, tetapi juga perlu diimbangi dengan regulasi untuk mencegah utang konsumtif.
  4. Kampanye Kesadaran: Mengedukasi masyarakat tentang konsumsi berkelanjutan, seperti membeli produk lokal atau ramah lingkungan, bisa mengarahkan konsumsi ke arah yang lebih positif.

Kesimpulan

Konsumsi adalah cerminan dari cara kita hidup, dipengaruhi oleh pendapatan, preferensi, budaya, dan bahkan ketakutan atau harapan kita tentang masa depan. Dari teori kardinal yang mengukur kepuasan hingga pendekatan ordinal yang membandingkan pilihan, kita belajar bahwa konsumsi adalah keputusan kompleks yang melibatkan logika dan emosi. Fungsi konsumsi Keynesian menunjukkan bahwa pendapatan adalah pendorong utama, tetapi faktor seperti teknologi, kebijakan pemerintah, dan psikologi juga berperan besar.

Di era modern, di mana iklan, media sosial, dan e-commerce terus membentuk kebiasaan kita, penting untuk menjadi konsumen yang cerdas. Pertanyaan untuk Anda: Apa yang mendorong Anda untuk membeli sesuatu hari ini? Apakah itu kebutuhan, keinginan, atau sekadar dorongan sesaat? Dengan memahami konsep konsumsi, kita tidak hanya bisa mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik, tetapi juga berkontribusi pada perekonomian yang lebih sehat.

Sumber & Referensi

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Laporan Ekonomi Indonesia 2020. Jakarta: BPS.
  2. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga terhadap PDB 2024. Jakarta: BPS.
  3. Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. Palgrave Macmillan.
  4. Mankiw, N. G. (2019). Principles of Economics (8th Edition). Cengage Learning.
  5. Modigliani, F., & Brumberg, R. (1954). Utility Analysis and the Consumption Function. Post-Keynesian Economics.
  6. Friedman, M. (1957). A Theory of the Consumption Function. Princeton University Press.
  7. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Evaluasi Program Kartu Prakerja. Jakarta: Kemenkeu.
  8. Kompas. (2020). Lonjakan Transaksi E-Commerce Selama Pandemi. Diakses dari www.kompas.com.
  9. Pindyck, R. S., & Rubinfeld, D. L. (2018). Microeconomics (9th Edition). Pearson.
  10. Sukirno, S. (2015). Mikroekonomi: Teori Pengantar (Edisi Ketiga). Rajawali Pers.

Hashtags

#Konsumsi #Ekonomi #PerilakuKonsumen #FungsiKonsumsi #MPC #Pendapatan #EkonomiMakro #KebijakanFiskal #Pandemi #Ecommerce

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.