Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Anda membeli secangkir kopi di kafe favorit setiap pagi, meskipun Anda bisa membuatnya sendiri di rumah? Atau mengapa Anda tergoda untuk membeli ponsel baru saat gaji baru masuk, padahal ponsel lama masih berfungsi? Konsumsi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.
Setiap hari, kita membuat keputusan untuk membeli barang atau jasa—mulai dari kebutuhan pokok seperti makanan hingga barang mewah seperti liburan ke destinasi impian. Tapi, apa sebenarnya yang mendorong kita untuk mengonsumsi? Dan bagaimana keputusan konsumsi kita memengaruhi tidak hanya dompet pribadi, tetapi juga perekonomian secara keseluruhan?Konsumsi bukan sekadar aktivitas membeli. Dalam ilmu
ekonomi, konsumsi adalah mesin penggerak perekonomian, menyumbang lebih dari
60% Produk Domestik Bruto (PDB) di banyak negara, termasuk Indonesia (BPS,
2024). Dari keputusan sederhana seperti membeli roti hingga investasi besar
seperti membeli rumah, konsumsi mencerminkan perilaku manusia yang kompleks,
dipengaruhi oleh pendapatan, budaya, teknologi, dan bahkan psikologi. Artikel
ini akan mengupas konsep konsumsi secara menyeluruh, dengan bahasa sederhana
namun berbasis data, untuk membantu Anda memahami mengapa kita mengonsumsi dan
bagaimana keputusan ini membentuk dunia di sekitar kita.
Pembahasan Utama
Apa Itu Konsumsi?
Secara sederhana, konsumsi adalah aktivitas menggunakan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Dalam ekonomi makro,
konsumsi diukur sebagai total pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa
dalam suatu periode. Misalnya, ketika Anda membeli sepatu baru, membayar
langganan streaming, atau makan di restoran, Anda sedang berkontribusi pada
konsumsi agregat perekonomian.
Menurut modul Pengantar Ekonomi (2025), konsumsi
dapat dibagi menjadi tiga jenis:
- Barang
Tidak Tahan Lama (non-durable goods): Barang yang habis dalam sekali
pakai atau memiliki umur pendek, seperti makanan, minuman, atau bahan
bakar. Contoh: Anda membeli sebotol susu yang habis dalam beberapa hari.
- Barang
Tahan Lama (durable goods): Barang yang bisa digunakan berulang kali,
seperti mobil, televisi, atau furnitur. Contoh: Membeli lemari es yang
bisa dipakai selama bertahun-tahun.
- Jasa
(services): Aktivitas tak berwujud seperti jasa dokter, pendidikan, atau
transportasi. Contoh: Membayar tiket kereta untuk perjalanan akhir pekan.
Bayangkan konsumsi seperti bahan bakar dalam mesin mobil.
Tanpa konsumsi, perekonomian akan berhenti bergerak. Namun, apa yang membuat
kita memilih untuk mengonsumsi satu barang dibandingkan yang lain? Jawabannya
ada pada teori perilaku konsumen.
Mengapa Kita Memilih? Dua Pendekatan dalam Teori Perilaku
Konsumen
Ekonom telah lama mempelajari bagaimana manusia membuat
keputusan konsumsi. Ada dua pendekatan utama yang menjelaskan perilaku
konsumen: pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal.
Pendekatan Kardinal: Mengukur Kepuasan
Pendekatan kardinal, yang dikembangkan oleh tokoh seperti
Alfred Marshall, menganggap kepuasan (atau utility) bisa diukur secara
numerik, seperti menghitung kalori dalam makanan. Misalnya, Anda mungkin merasa
mendapatkan "10 unit kepuasan" dari makan sepotong cokelat dan
"5 unit" dari minum segelas air.
Konsep kunci dalam pendekatan ini adalah Hukum Utilitas
Marjinal yang Semakin Menurun. Bayangkan Anda sedang makan pizza. Sepotong
pertama terasa luar biasa karena Anda lapar. Sepotong kedua masih enak, tapi
kepuasannya sedikit berkurang. Pada sepotong kelima, Anda mungkin sudah kenyang
dan tidak lagi menikmatinya. Hukum ini menyatakan bahwa semakin banyak Anda
mengonsumsi sesuatu, semakin kecil kepuasan tambahan yang Anda dapatkan dari
setiap unit tambahan.
Secara matematis, konsumen mencapai keseimbangan ketika
mereka mengalokasikan uang mereka sehingga utilitas marjinal per rupiah yang
dihabiskan sama untuk semua barang. Misalnya, jika Anda membeli apel (Rp2.000,
utilitas marjinal 10) dan jeruk (Rp4.000, utilitas marjinal 20), rasio utilitas
marjinal terhadap harga harus sama:
10/2000 = 20/4000 = 0,005. Jika tidak, Anda akan mengalihkan pengeluaran untuk
memaksimalkan kepuasan.
Pendekatan Ordinal: Membandingkan Pilihan
Pendekatan ordinal, yang dipopulerkan oleh John Hicks dan
Vilfredo Pareto, tidak mencoba mengukur kepuasan secara numerik. Sebaliknya,
pendekatan ini berfokus pada preferensi konsumen—apa yang mereka sukai lebih
banyak dibandingkan yang lain. Bayangkan Anda dihadapkan pada dua pilihan:
makan malam di restoran mewah atau piknik di taman. Anda mungkin tidak bisa
mengatakan berapa "unit kepuasan" yang Anda dapatkan, tapi Anda bisa
memilih mana yang lebih Anda inginkan.
Alat utama dalam pendekatan ordinal adalah kurva
indiferensi dan garis anggaran:
- Kurva
Indiferensi: Menunjukkan kombinasi dua barang (misalnya, kopi dan kue)
yang memberikan kepuasan sama. Semakin jauh kurva dari titik asal, semakin
tinggi kepuasannya.
- Garis
Anggaran: Menunjukkan apa yang mampu Anda beli dengan pendapatan
tertentu. Misalnya, dengan Rp50.000, Anda bisa membeli 5 kopi (Rp10.000
per gelas) atau 10 kue (Rp5.000 per buah), atau kombinasi di antaranya.
Keseimbangan terjadi ketika kurva indiferensi tertinggi
bersinggungan dengan garis anggaran. Pada titik ini, Anda memaksimalkan
kepuasan dengan anggaran yang ada. Misalnya, Anda mungkin memilih 3 kopi dan 4
kue karena kombinasi itu memberi kepuasan maksimal dengan Rp50.000.
Pendekatan ordinal lebih realistis di era modern karena kita
sering membuat keputusan berdasarkan perbandingan, bukan angka pasti. Saat
memilih antara Netflix atau Disney+, Anda mungkin tidak menghitung
"utilitas," tapi Anda tahu mana yang lebih sesuai dengan selera Anda.
Fungsi Konsumsi: Hubungan Pendapatan dan Pengeluaran
John Maynard Keynes, salah satu ekonom terbesar abad ke-20,
memperkenalkan konsep fungsi konsumsi, yang menunjukkan hubungan antara
pendapatan dan konsumsi. Persamaannya sederhana:
C = a + bY
Di mana:
- C:
Konsumsi
- a:
Konsumsi otonom (pengeluaran minimum meskipun pendapatan nol, seperti
untuk kebutuhan dasar)
- b:
Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu persentase pendapatan tambahan
yang digunakan untuk konsumsi
- Y:
Pendapatan disposabel (pendapatan setelah pajak)
Misalnya, jika fungsi konsumsi adalah C = 100 + 0,8Y, dan
pendapatan Anda Rp1.000.000, maka konsumsi Anda adalah:
C = 100 + 0,8(1.000.000) = 100 + 800.000 = 900.000.
Ini berarti Anda menghabiskan Rp900.000 untuk konsumsi, dan sisanya (Rp100.000)
mungkin ditabung.
MPC adalah konsep kunci di sini. Jika MPC = 0,8,
artinya 80% dari pendapatan tambahan digunakan untuk konsumsi. MPC penting
karena memengaruhi efek pengganda (multiplier effect) dalam
perekonomian. Misalnya, jika pemerintah memberikan stimulus Rp1 triliun, dan
MPC = 0,8, maka total dampak pada perekonomian adalah:
Multiplier = 1 / (1 - MPC) = 1 / (1 - 0,8) = 5.
Jadi, Rp1 triliun stimulus bisa menghasilkan Rp5 triliun aktivitas ekonomi
karena uang terus berputar melalui konsumsi.
Apa yang Mempengaruhi Konsumsi?
Konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan. Modul Pengantar
Ekonomi (2025) menyebutkan beberapa faktor utama:
Faktor Ekonomi
- Pendapatan:
Faktor terbesar. Semakin tinggi pendapatan, semakin banyak yang dihabiskan
untuk konsumsi. Namun, menurut Keynes, proporsi pendapatan yang dikonsumsi
menurun saat pendapatan meningkat.
- Kekayaan:
Jika Anda memiliki tabungan atau aset (misalnya, rumah atau saham), Anda
mungkin lebih berani berbelanja meskipun pendapatan bulanan tetap.
- Tingkat
Bunga: Bunga tinggi mendorong menabung dan mengurangi konsumsi,
sementara bunga rendah mendorong pinjaman dan belanja.
- Ekspektasi:
Jika Anda yakin ekonomi akan membaik, Anda mungkin lebih banyak berbelanja
sekarang. Sebaliknya, ketakutan akan resesi bisa membuat Anda menahan
diri.
- Kebijakan
Fiskal: Pajak yang lebih rendah meningkatkan pendapatan disposabel,
sehingga mendorong konsumsi. Contohnya, insentif pajak selama pandemi
COVID-19 di Indonesia meningkatkan belanja rumah tangga (BPS, 2021).
Faktor Demografis dan Sosial
- Usia:
Orang muda cenderung menghabiskan lebih banyak untuk hiburan, sementara
orang tua fokus pada kesehatan (Life-Cycle Hypothesis).
- Pendidikan:
Orang dengan pendidikan tinggi sering kali memiliki preferensi konsumsi
yang berbeda, seperti berinvestasi pada pendidikan anak.
- Budaya:
Di Indonesia, budaya "mudik" saat Lebaran mendorong konsumsi
tiket transportasi dan pakaian baru.
- Lokasi:
Penduduk kota lebih banyak menghabiskan untuk jasa (misalnya, ojek online)
dibandingkan penduduk desa.
Faktor Psikologis
- Preferensi:
Anda mungkin lebih suka kopi lokal daripada merek internasional karena
selera pribadi.
- Persepsi:
Iklan yang meyakinkan bisa membuat Anda merasa perlu membeli produk
tertentu.
- Motivasi:
Keinginan untuk "menjaga gengsi" bisa mendorong pembelian barang
mewah (Relative Income Hypothesis).
Perspektif Lain tentang Konsumsi
Selain teori Keynesian, ada beberapa teori lain yang
menjelaskan perilaku konsumsi:
- Life-Cycle
Hypothesis (Franco Modigliani): Orang merencanakan konsumsi
berdasarkan siklus hidup. Saat muda, mereka meminjam; saat bekerja, mereka
menabung; saat pensiun, mereka menggunakan tabungan.
- Permanent
Income Hypothesis (Milton Friedman): Konsumsi lebih dipengaruhi oleh
pendapatan jangka panjang (permanen) daripada pendapatan sementara
(misalnya, bonus).
- Relative
Income Hypothesis (James Duesenberry): Kita mengonsumsi untuk menjaga
status sosial, membandingkan diri dengan tetangga atau teman.
- Behavioral
Economics: Konsumen tidak selalu rasional. Misalnya, Anda mungkin
membeli barang diskon meskipun tidak membutuhkannya karena "takut
rugi" (loss aversion).
Studi Kasus: Konsumsi di Indonesia Saat Pandemi
Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran nyata tentang
bagaimana faktor eksternal mengubah konsumsi. Menurut modul Pengantar
Ekonomi (2025), beberapa perubahan di Indonesia antara lain:
- Belanja
Online Meningkat: Platform seperti Tokopedia dan Shopee mencatat
lonjakan transaksi hingga 30% pada 2020 (Kompas, 2020).
- Prioritas
Berubah: Pengeluaran untuk kesehatan (masker, hand sanitizer) dan
kebutuhan pokok melonjak, sementara belanja untuk liburan dan barang mewah
turun drastis.
- Penurunan
Konsumsi Agregat: Banyak rumah tangga kehilangan pendapatan,
menyebabkan konsumsi nasional turun 2,63% pada 2020 (BPS, 2021).
Perubahan ini menunjukkan bahwa konsumsi sangat sensitif
terhadap pendapatan, ekspektasi, dan kondisi eksternal. Ketika orang merasa
tidak aman, mereka cenderung menabung lebih banyak dan mengurangi pengeluaran.
Implikasi & Solusi
Dampak Konsumsi pada Perekonomian
Konsumsi adalah tulang punggung perekonomian. Ketika
konsumsi tinggi, bisnis berkembang, lapangan kerja bertambah, dan PDB
meningkat. Namun, konsumsi yang berlebihan, terutama melalui utang, bisa memicu
masalah seperti inflasi atau krisis keuangan. Sebaliknya, konsumsi yang terlalu
rendah bisa menyebabkan resesi, seperti yang terjadi di banyak negara selama
pandemi.
Di Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 56%
dari PDB pada 2024 (BPS, 2024). Ketika konsumsi menurun, seperti selama
pandemi, dampaknya terasa pada sektor ritel, pariwisata, dan UMKM. Sebaliknya,
lonjakan konsumsi saat Lebaran atau akhir tahun sering kali menjadi penyelamat
ekonomi.
Solusi untuk Mengelola Konsumsi
- Pendidikan
Keuangan: Masyarakat perlu dilatih untuk mengelola pendapatan dan
konsumsi secara bijak. Misalnya, memahami perbedaan antara kebutuhan dan
keinginan dapat mencegah pembelian impulsif.
- Kebijakan
Pemerintah: Pemerintah bisa mendorong konsumsi melalui kebijakan
fiskal, seperti menurunkan pajak penghasilan atau memberikan bansos.
Contohnya, program Kartu Prakerja berhasil meningkatkan konsumsi rumah
tangga miskin selama pandemi (Kemenkeu, 2021).
- Inovasi
Teknologi: Platform e-commerce dan fintech (seperti OVO atau GoPay)
mempermudah konsumsi, tetapi juga perlu diimbangi dengan regulasi untuk
mencegah utang konsumtif.
- Kampanye
Kesadaran: Mengedukasi masyarakat tentang konsumsi berkelanjutan,
seperti membeli produk lokal atau ramah lingkungan, bisa mengarahkan
konsumsi ke arah yang lebih positif.
Kesimpulan
Konsumsi adalah cerminan dari cara kita hidup, dipengaruhi
oleh pendapatan, preferensi, budaya, dan bahkan ketakutan atau harapan kita
tentang masa depan. Dari teori kardinal yang mengukur kepuasan hingga
pendekatan ordinal yang membandingkan pilihan, kita belajar bahwa konsumsi
adalah keputusan kompleks yang melibatkan logika dan emosi. Fungsi konsumsi
Keynesian menunjukkan bahwa pendapatan adalah pendorong utama, tetapi faktor
seperti teknologi, kebijakan pemerintah, dan psikologi juga berperan besar.
Di era modern, di mana iklan, media sosial, dan e-commerce
terus membentuk kebiasaan kita, penting untuk menjadi konsumen yang cerdas.
Pertanyaan untuk Anda: Apa yang mendorong Anda untuk membeli sesuatu hari ini?
Apakah itu kebutuhan, keinginan, atau sekadar dorongan sesaat? Dengan memahami
konsep konsumsi, kita tidak hanya bisa mengelola keuangan pribadi dengan lebih
baik, tetapi juga berkontribusi pada perekonomian yang lebih sehat.
Sumber & Referensi
- Badan
Pusat Statistik (BPS). (2021). Laporan Ekonomi Indonesia 2020.
Jakarta: BPS.
- Badan
Pusat Statistik (BPS). (2024). Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga
terhadap PDB 2024. Jakarta: BPS.
- Keynes,
J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money.
Palgrave Macmillan.
- Mankiw,
N. G. (2019). Principles of Economics (8th Edition). Cengage
Learning.
- Modigliani,
F., & Brumberg, R. (1954). Utility Analysis and the Consumption
Function. Post-Keynesian Economics.
- Friedman,
M. (1957). A Theory of the Consumption Function. Princeton
University Press.
- Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. (2021). Evaluasi Program Kartu Prakerja.
Jakarta: Kemenkeu.
- Kompas.
(2020). Lonjakan Transaksi E-Commerce Selama Pandemi. Diakses dari
www.kompas.com.
- Pindyck,
R. S., & Rubinfeld, D. L. (2018). Microeconomics (9th Edition).
Pearson.
- Sukirno,
S. (2015). Mikroekonomi: Teori Pengantar (Edisi Ketiga). Rajawali
Pers.
Hashtags
#Konsumsi #Ekonomi #PerilakuKonsumen #FungsiKonsumsi #MPC
#Pendapatan #EkonomiMakro #KebijakanFiskal #Pandemi #Ecommerce
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.