Meta Description: Mengapa hutan gundul selalu memicu
banjir dan longsor? Temukan penjelasan ilmiah tentang peran hutan sebagai
pelindung alami dan solusi berbasis riset untuk mengatasinya.
Fokus Kata Kunci: Hutan gundul, penyebab banjir, penyebab tanah longsor, deforestasi, mitigasi bencana, fungsi hidrologis hutan.
Pernahkah Anda membayangkan bumi sebagai sebuah rumah besar? Dalam analogi ini, hutan adalah atap sekaligus fondasi yang kokoh. Namun, apa yang terjadi jika atap tersebut dibongkar dan fondasinya dicabut? Jawabannya terlihat jelas setiap kali musim hujan tiba: genangan air yang meluap ke pemukiman dan tanah perbukitan yang runtuh seketika.
Hutan gundul bukan sekadar isu estetika atau kehilangan
pohon semata. Secara ilmiah, penggundulan hutan (deforestasi) adalah gangguan
pada teknologi alami paling canggih di dunia. Artikel ini akan mengupas tuntas
mengapa hilangnya tutupan pohon secara langsung "mengundang" bencana
banjir dan longsor ke depan pintu rumah kita.
1. Efek "Spons" yang Menghilang: Mengapa Banjir
Terjadi?
Salah satu fungsi utama hutan adalah sebagai pengatur tata
air atau fungsi hidrologis. Dalam kondisi sehat, hutan bertindak seperti spons
raksasa. Saat hujan turun, air tidak langsung menghantam tanah dengan kekuatan
penuh.
Mekanisme Intersepsi dan Infiltrasi
Pertama, dedaunan pohon melakukan intersepsi, yaitu
menangkap air hujan dan memecah kekuatannya sebelum menyentuh tanah. Tanpa
pohon, air hujan jatuh dengan energi kinetik tinggi yang memadatkan permukaan
tanah.
Kedua, ada peran serasah (daun-daun kering di lantai
hutan) dan akar pohon. Serasah menjaga tanah tetap gembur, sementara akar
menciptakan pori-pori makro yang memungkinkan air meresap ke dalam tanah (infiltrasi).
Penilitian oleh Bradshaw et al. (2007) dalam jurnal Global Change
Biology menemukan korelasi kuat bahwa penurunan tutupan hutan secara
signifikan meningkatkan frekuensi dan durasi banjir besar.
Ketika hutan digunduli, tanah menjadi padat dan jenuh. Air
yang seharusnya tersimpan di dalam tanah sebagai cadangan air tanah justru
mengalir di permukaan sebagai surface runoff. Bayangkan menyiram seember
air ke atas karpet (hutan) dibandingkan ke atas lantai semen (lahan gundul). Di
atas semen, air akan lari ke mana-mana dengan cepat—itulah awal mula banjir
bandang.
2. Akar sebagai "Jangkar": Sains di Balik Tanah
Longsor
Jika banjir adalah masalah volume air, maka longsor adalah
masalah stabilitas tanah. Di daerah perbukitan, pohon berfungsi sebagai jangkar
mekanis yang menahan massa tanah agar tidak merosot ke bawah akibat gravitasi.
Kekuatan Akar dan Tekanan Air Pori
Akar pohon memberikan kekuatan kohesi tambahan pada tanah.
Akar yang kuat menembus lapisan tanah hingga ke batuan dasar, bertindak seperti
"paku" alami. Selain itu, pohon melakukan proses transpirasi,
yaitu menyerap air dari dalam tanah dan melepaskannya ke atmosfer. Hal ini
menjaga tekanan air pori di dalam tanah tetap rendah.
Penelitian oleh Gariano dan Guzzetti (2016)
menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, terutama deforestasi di lereng
curam, adalah pemicu utama longsoran yang dipicu oleh curah hujan. Saat pohon
hilang, tanah menjadi berat karena menyerap terlalu banyak air hujan, sementara
"paku-paku" pengikatnya sudah tidak ada. Akibatnya, gravitasi menang
dan lereng pun runtuh.
3. Debat Objektif: Apakah Menanam Pohon Saja Cukup?
Ada perspektif yang berkembang bahwa pembangunan
infrastruktur seperti bendungan atau dinding penahan lebih efektif daripada
sekadar menanam pohon untuk mencegah bencana. Secara objektif, infrastruktur
fisik memang memberikan perlindungan instan. Namun, para ilmuwan berargumen
bahwa pendekatan "betonisasi" tanpa rehabilitasi hutan adalah solusi
jangka pendek yang mahal.
Hutan memberikan perlindungan yang berkelanjutan dan
multifungsi. Selain mencegah bencana, hutan juga menyerap karbon dioksida ($CO_2$),
menyediakan habitat, dan mendinginkan suhu lokal. Solusi terbaik yang kini
disepakati secara global adalah Solusi Berbasis Alam (Nature-based
Solutions), di mana infrastruktur fisik dikombinasikan dengan pemulihan
ekosistem hutan (Viglizzo et al., 2011).
Implikasi dan Solusi: Memulihkan Napas Bumi
Dampak dari hutan gundul tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat di sekitar hutan. Banjir di kota-kota besar sering kali merupakan
kiriman dari hulu yang telah kehilangan fungsinya. Kerugian ekonomi akibat
rusaknya infrastruktur, kehilangan harta benda, hingga korban jiwa
menjadikannya masalah mendesak.
Solusi Berbasis Penelitian
- Reboisasi
Strategis: Bukan sekadar menanam pohon dalam jumlah banyak, tetapi
memilih spesies lokal yang memiliki sistem perakaran dalam dan kemampuan
menyerap air tinggi.
- Agroforestri:
Menggabungkan tanaman pertanian dengan pohon hutan di lahan masyarakat
agar nilai ekonomi dan fungsi lindung berjalan beriringan.
- Penghentian
Deforestasi di Hulu: Perlindungan ketat pada hutan di area tangkapan
air (catchment areas) harus menjadi prioritas hukum.
- Sistem
Peringatan Dini: Menggunakan sensor kelembapan tanah di area bekas
hutan untuk memprediksi risiko longsor secara real-time.
Kesimpulan
Hutan gundul adalah undangan terbuka bagi bencana. Dengan
hilangnya fungsi intersepsi, infiltrasi, dan kekuatan akar, kita telah
melumpuhkan sistem pertahanan alami bumi terhadap banjir dan longsor. Sains
telah membuktikan bahwa keberadaan hutan bukan sekadar soal kelestarian hewan,
tetapi tentang keselamatan manusia itu sendiri.
Ringkasnya, menjaga hutan tetap tegak adalah investasi
termurah untuk mencegah bencana yang mahal di masa depan. Kita tidak bisa
terus-menerus membangun tembok untuk membendung air, jika kita sendiri yang
menghancurkan "spons" dan "jangkar" alaminya.
Pertanyaan reflektif: Masihkah kita menganggap
pohon di kejauhan sana tidak ada hubungannya dengan air yang masuk ke dalam
rumah kita hari ini?
Sumber & Referensi
- Bradshaw,
C. J., Sodhi, N. S., Peh, K. S. H., & Brook, B. W. (2007).
"Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity
in the developing world." Global Change Biology, 13(11),
2379-2395.
- Gariano,
S. L., & Guzzetti, F. (2016). "Landslides in a changing
climate." Earth-Science Reviews, 162, 227-252.
- Viglizzo,
E. F., et al. (2011). "The eco-hydrological strategy of perennial
pasturelands in the Rio de la Plata basin." Ecohydrology,
4(1), 17-27.
- Sidle,
R. C., & Ochiai, H. (2006). "Landslides: Processes,
Prediction, and Land Use." Water Resources Monograph, American
Geophysical Union.
- Hansen,
M. C., et al. (2013). "High-resolution global maps of
21st-century forest cover change." Science, 342(6160),
850-853.
#Hashtag:
#HutanGundul #PenyebabBanjir #TanahLongsor #Deforestasi
#LingkunganHidup #MitigasiBencana #SainsPopuler #StopDeforestasi #Ekosistem
#IndonesiaHijau

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.