Apr 23, 2013

Si Miskin Butuh Sekolah


Judul Buku : Orang Miskin Dilarang Sekolah (Seri Dilarang Miskin)
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : INSIST Press Yogyakarta
Peresensi : Atep Afia Hidayat

Kemiskinan menjadi faktor pembatas yang nyata bagi sebagian anggota masyarakat untuk mengakses pendidikan. Padahal sudah jelas tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator bagi indek pembangunan manusia. Kalau puluhan juta masyarakat masih dijebak kemiskinan, dengan sendirinya berpengaruh langsung terhadap kualitas bangsa secara keseluruhan. Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang ditulis oleh Eko Prasetyo dan diterbitkan oleh Insist Yogyakarta, secara gamblang menyampaikan kritik cerdas mengenai fenomena orang miskin dan hasratnya untuk bersekolah.

Buku setebal 256 halaman tersebut terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama diberi topik “Yang Pintar, Yak Kaya”, mengungkap : Sekolah Hanya Bikin Miskin; Kapitalisme Pendidikan; Orang Miskin Disiksa Di Negeri Sendiri; Apa yang Diinginkan oleh Buku ini? Ternyata tuntutannya sederhana, pendidikan wajib murah ! Keterlantaran orang miskin dalam pendidikan harus menjadi perhatian serius, dalam hal ini negaralah yang paling bertanggung-jawab. Karena Negara dikelola oleh pemerintah (rejim yang berkuasa), dengan sendirinya  pemerintahlah yang mengemban amanat.

Dalam hal ini, komponen pemerintah yang mengurusinya ialah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Rapor keberhasilan Kemendikbud sebenarnya bisa dilihat dari tingkat putus sekolah. Jika angka putus sekolah SD, SMP, SMA/SMK atau perguruan tinggi tidak bisa diturunkan sampai tingkat paling rendah, sudah sepantasnya Mendikbud dengan sukarela mengundurkan diri, karena tidak mampu.

Bagian kedua diberi topik “Sekolah Di Bawah Kuasa Modal”, mengungkap: Kompetisi “Liar” Antar Sekolah; Sekolah jadi Sasaran Para Pengusaha; dan Kesimpulan. Menurut penulis, salah satu penyebab merosotnya kualitas pendidikan ialah adanya kebijakan pemerintah yang keliru, terutama berkaitan dengan liberalisasi pendidikan.

Tak dapat dipungkiri pendidikan sudah menjadi bisnis dan industry, dengan dalih kepedulian sosial para pengusaha pun beramai-ramai mendirikan sekolah unggulan, sekolah berstandar internasional, universitas kelas dunia, dan sebagainya, dengan ongkos masuk yang “selangit”. Kondisi ini makin meminggirkan orang miskin, ditengah keterhimpitannya dalam kehidupan hanya mampu berobsesi tentang sekolah.

Bagian ketiga diberi topik “Sekolah yang mengantar Musibah”, menjelaskan: Sekolah Sumber Utama Kekerasan; Guru Teraniaya di Lingkungannya; dan Kesimpulan. Penulis mengungkapkan, bahwa siswa seperti batang korek api yang digenggam erat di tangan pengurus dan guru sekolah. Sedangkan guru dan pengurus juga bukan mahluk yang independen, karena keduanya sangat tergantung pada penguasa di atasnya. Ya, begitulah dunia pendidikan kita, nyaris kurang ada independensi, bahkan sampai ujian siswa pun di atur oleh rejim yang berkuasa.

Bagian keempat dengan topik “Sekolah Kemana Lulusannya ?”, mengungkapkan: Sekolah Buat Calon Penganggur; Sekolah Luluskan Penjahat. Judul-judul tersebut tampak bombastis, namun realitanya tidak terlalu meleset. Faktanya jumlah pengangguran terdidik makin bertambah banyak, ribuan perguruan tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan, yang terserap dunia kerja atau yang mampu berusaha mandiri hanya sebagian kecil saja. Dengan makin banyaknya koruptor, manipulator, rampoktor sampai copetor, yang ternyata umumnya lulusan sekolah, menjadi timbul pertanyaan, sekolahnya di mana, apa saja yang diperoleh dari sekolah?

Menurut penulis, edukasi berasal dari bahasa latin educare, yang artinya “membawa keluar”. Sekolah sebenarnya bermula dari sana, membawa anak keluar sehingga bisa menyentuh realitas langsung masyarakat. Disebutkan, bahwa sekolah lebih banyak member jawaban yang definitive ketimbang pertanyaan yang menggairahkan.

Bagian kelima dengan topik “Sekolah itu Mustinya Murah”, berisikan hanya satu judul tulisan: Jalan Radikal. Ada sepuluh jalan yang diusulkan supaya orang miskin bisa sekolah, di antaranya anggaran pendidikan (APBN) harus benar-benar 20 persen atau lebih; Pemotongan gaji pejabat tinggi untuk dialokasikan bagi dunia pendidikan; Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan besar; Berikan sanksi yang tegas dan keras bagi koruptor sector pendidikan; Adanya partisipasi aktif media massa untuk meliput secara tajam dan berani mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan; dan Adanya keterbukaan atau transparansi lembaga pendidikan.

Si miskin butuh sekolah, ternyata sekolah tidak murah. Si miskin terbentur biaya, bahkan untuk masuk sekolah dasar (SD) sekalipun. Dengan demikian kendala utamanya adalah biaya, ongkos, dana atau anggaran. Dibutuhkan puluhan sampai ratusan triliun rupiah untuk membebaskan si miskin dari ongkos sekolah.

Kalau memperhatikan kebocoran anggaran Negara yang begitu berjibun, yang setiap hari selalu diekspos media cetak, elektronik dan internet, maka penyebab utama si miskin tidak bisa sekolah adalah faktor kemampuan dan keseriusan pengelola Negara. Kalau pemerintah mumpuni, tegas, jujur dan adil sebenarnya Negara ini akan menjadi makmur, semua orang pun bisa sekolah. (Atep Afia).

11 comments:

  1. Mengutip dari paragraf " Si miskin butuh sekolah, ternyata sekolah tidak murah. Si miskin terbentur biaya, bahkan untuk masuk sekolah dasar (SD) sekalipun. Dengan demikian kendala utamanya adalah biaya, ongkos, dana atau anggaran. Dibutuhkan puluhan sampai ratusan triliun rupiah untuk membebaskan si miskin dari ongkos sekolah."

    Saya sangat prihatin dengan Negara Indonesia yang mewajibkan sekolah 9 tahun, tetapi yang lulusan sarjana pun susah mendapatkan pekerjaan. Untuk apa mengeluarkan biaya banyak kalau itu tidak ada gunanya. Masyarakat masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Orang kaya sekolah keluar negeri sedangkan orang miskin mengemis-ngemis untuk sekolah.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Kalau memperhatikan kebocoran anggaran negara yang begitu brjibun yang setiap hari diekspos oleh media cetak,elektronik dan internet, maka penyebab si miskin tidak bisa sekolah adalah faktor kemampuan dankeseriusan negara.Kalau pemerintah mumpuni,tegas,jujur dan adil sebenarnya negara ini akan menjadi makmur dan semua orang bisa sekolah.
    @B21-Djarwoto

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Mengutip dari paragraf " Si miskin butuh sekolah, ternyata sekolah tidak murah. Si miskin terbentur biaya, bahkan untuk masuk sekolah dasar (SD) sekalipun. Dengan demikian kendala utamanya adalah biaya, ongkos, dana atau anggaran. Dibutuhkan puluhan sampai ratusan triliun rupiah untuk membebaskan si miskin dari ongkos sekolah."

    Saya sangat prihatin dengan Negara Indonesia yang mewajibkan sekolah 9 tahun, tetapi yang lulusan sarjana pun susah mendapatkan pekerjaan. Untuk apa mengeluarkan biaya banyak kalau itu tidak ada gunanya. Masyarakat masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Orang kaya sekolah keluar negeri sedangkan orang miskin mengemis-ngemis untuk sekolah.

    B33-Fitria

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Sangat prihatin dengan adanya kasus ini, dan saya berharap pemerintah dapat memperhatikannya lebih untuk masyarakat yang kurang mampu karena semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

    @C20-Erna

    ReplyDelete
  8. Sangat prihatin dengan adanya kasus ini, dan saya berharap pemerintah dapat memperhatikannya lebih untuk masyarakat yang kurang mampu karena semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

    @C20-Erna

    ReplyDelete
  9. @E32-Theo, @Tugas B05
    Menurut saya, saya setuju dengan tulisan di atas dikarenakan di negara ini masih menentukan karir seseorang dari sebuah gelar maka pemerintah harus menyediakan fasilitas dan sistem pendidikan yang baik, dan untuk pelaksana juga pengawas anggaran dari pemerintah harus mengawasi apakah dana yang digelontorkan untuk pendidikan sudah tepat sasaran atau belum dan jika ada yang bermain dengan dana tersebut harus ditindak tegas hanya dengan demikian maka dana pendidikan akan tersalurkan dengan baik ke masyarakat kurang mampu

    ReplyDelete
  10. Priyo Dwi Wijaksono @E17-Priyo, Tugas B05

    Saya harap pemerintah bisa lebih tegas lagi dalam mengelola anggaran pendidikan.
    Semoga kedepannya pendidikan gratis di Indonesia bisa lebih terealisasi dengan lebih baik lagi.

    ReplyDelete
  11. @D14-Raafi,@Tugas A05
    Masih bnyak yg ingin bersekolah tetapi terbentur dengan biaya , maka bersyukurlah kita yg masih bisa bersekolah , harapannya pmerintah lebih bijaksana lagi terhadap pendidikan di negara kita ini

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.